Mirip Pilpres Iran 2009, Jokowi sedang Di-Ahmadinejad-kan
Foto wajah bonyok Ratna Sarumpaet dan wajah cantik Neda Agha Soltani (Diolah dari Tribunnews.com dan BBC.com)
Sejurus kemudian darah segar terlihat membasahi hidung, mulut, dan mata si gadis cantik itu. Nampak jelas juga kedua mata gadis cantik itu yang masih menyorot tajam ke arah kamera yang merekamnya.
Itulah salah satu rekaman video itu yang memviral lewat YouTube, Facebook, dan Twitter. Sontak, video itu membakar kemarahan para demonstran antipemerintah Iran.
Gadis dalam video itu disebut-sebut bernama Neda Agha Soltan. Neda yang kala itu berusia 27 tahun tercatat sebagai satu dari 17 korban tewas dalam aksi unjuk menolak hasil Pilpres Iran yang digelar pada 12 Juli 2009.
Dalam pemilu di negeri para Mulloh itu, capres petahana Mahmoud Ahmadinejad menang dengan raihan 62,6 persen suara. Sementara Mir Hossein Mousavi hanya meraih 33.75 persen suara.
Sesaat setelah kemenangan Ahmadinejad diumumkan, aksi unjuk rasa yang mayoritas diikuti oleh pendukung Mousavi meletus di ibu kota Iran, Teheran. Aksi ini kemudian merembet ke sejumlah kota di Iran, bahkan sampai ke sejumlah kota di Eropa dan Amerika Serikat.
Jika saja ketika itu pemerintah Ahmadinejad gagal meredamnya, besar kemungkinan Iran menjadi negara pertama yang mengalami Arab Spring. Bisa jadi, Iran merupakan negara pertama yang di-Arab Spring-kan.
Aksi unjuk rasa di Iran saat itu bukan ujug-ujug terjadi begitu aja. Ada serentetan peristiwa yang mengawalinya dan juga situasi politik serta geopolitik yang melatarbelakangi, termasuk kebijakan nuklir Iran yang ditentang Amerika dan negara-negara sekutunya.
Selain itu, sejumlah isu kecurangan sudah dihembuskan oleh kubu penantang. Isu-isu ini dibumbui dengan dugaan kecurangan yang dilakukan Ahmadinejad saat memenangi pemilu presiden lima tahun sebelumnya. Singkatnya, Ahmadinejad menang berkat kecurangan dan akan kembali mengulanginya.
Bersamaan dengan embusan isu kecurangan pemilu, sejumlah lembaga survei di Iran merilis hasil yang berbeda-beda. Perbedaan ini berlanjut hingga mendekati hari pemilihan. Mousavi, mengumumkan mendapat 58 hingga 60 persen suara. Sebaliknya, kubu Ahmadinejad pun mengklaim keunggulan serupa atas pesaingnya.
Jika diamati, situasi yang berkembang di tanah air jelang Pilpres 2019 ini mirip-mirip dengan situasi yang terjadi jelang pemilu presiden Iran sepuluh tahun yang lalu.
Sama seperti Ahmadinejad di Iran, Jokowi yang maju sebagai capres petahana diisukan memenangi Pilpres 2014 dengan cara nakal dan akan mengulanginya pada pemilu presiden yang akan dilangsungkan pada 17 April 2019.
Bagaimana kalau Nanti Benar-benar Ditemukan Surat Suara Tercoblos?
Tahun 2019 baru saja menginjak hari ketiganya. Pada hari itu lini masa media sosial dibanjiri konten berisi informasi hoax 7 kontainer surat suara tercoblos yang didatangkan dari China. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah melaporkannya kepada pihak kepolisian sekaligus menegaskan ke-hoax-an informasi yang pada mulanya menyebar masif lewat grup-grup tertutup.
Tetapi, bagaimana jika pada suatu ketika benar-benar ditemukan surat suara yang sudah dicoblos. Tidak perlu sampai 7 kontainer. Tidak perlu juga sampai 70 juta lembar. Cukup hanya 1 kardus kecil dengan belasan surat suara tercoblos di dalamnya. Maka, seketika itu juga secara otomatis informasi 7 kontainer surat suara tercoblos dari China mendapat pembenarannya.
Kemungkinan di atas bukan mengada-ada. Terlebih setelah beredar propaganda yang dikemas dalam bungkus "Strategi Sun Tzu Ke-7". "Buatlah sesuatu untuk hal kosong. Buatlah tipu daya dua kali. Setelah bereaksi terhadap tipuan pertama dan kedua, musuh akan ragu-ragu untuk bereaksi pada tipuan yang ketiga. Namun tipuan ketiga adalah serangan sebenarnya untuk menangkap musuh saat pertahanannya lemah".
Karenanya, sangat disayangkan jika respon KPU berhenti sampai pada pelaporan dan penegasan akan ke-hoax-an isu ini. "Event Organizer" pesta demokrasi di Indonesia ini seharusnya bekerja lebih maksimal dengan menyampaikan penjelasan tentang ketidakmungkinan surat suara tercoblos tersebut digunakan untuk mencurangi pemilu.
Mungkin KPU tidak sampai kesitu karena sedang disibukkan dengan urusan DPT yang belum juga ramung.
(Sumber: Detik.com)
Katanya, surat suara tercoblos tersebut akan didrop di TPS-TPS fiktif. Pertanyaannya, bisakah skenario kecurangan pemilu ini dilakukan? Jawabannya bisa dan sangat mudah dilakukan.
Hanya saja, skenario ini sudah terbongkar begitu hasil pemilu direkap di tingkat kelurahan/desa. Sebab, pada saat itu hasil pemilu di seluruh TPS yang ada di kelurahan/dihitung.
Jika pada saat itu muncul TPS yang tidak diketahui keberadaannya pasti akan menimbulkan pertanyaan dari seluruh timses yang dirugikan. Bukan hanya timses capres, tetapi juga timses dari masing-masing partai dan juga timses calon DPD.
Misalnya, di Desa Wanakerta pemungutan suara dilakukan di 30 TPS. TPS 01, TPS 02, TPS 03, sampai TPS 30. Begitu rekap di tingkat desa, muncul TPS 31, TPS 32, dan TPS 33. Para timses pasti akan bertanya, "Di mana lokasi ketiga TPS tersebut, Kok, kami tidak tahu?"
Kalau gampang terbongkar, logikanya skenario TPS Fiktif sangat tidak mungkin dijalankan.
Kemudian ada lagi skenario lainnya. Konon, surat suara yang sudah dicoblos tercoblos akan dimasukkan ke dalam kotak suara. Sebagai bumbu penyedap, kotak suara kardus dimasukkan ke dalam wajan penggorengan.
Pertanyaannya, kapan, di mana dan bagaimana surat suara tercoblos itu dimasukkan ke dalam kotak suara?
Ada yang bilang sebelum pemungutan suara digelar di TPS atau sudah diselundupkan ke dalam kotak suara di suatu tempat rahasia sebelum dibawa ke TPS.
Begini. Pemilih yang mendapati surat suara yang diterimanya sudah tercoblos dapat menggantinya dengan surat suara baru. Dan, surat suara tercoblos tersebut akan dihitung sebelum dimasukkan ke dalam amplop "Surat Suara Rusak".
Jadi, karena sudah dianggap rusak, surat suara tercoblos biarpun cuma satu tidak akan dihitung. Apalagi sampai satu kotak suara.
Atau disulap masuk kotak suara saat pemungutan suara tengah berlangsung. Ini keluguan model apalagi! Kalau yang ini sudah jelas-jelas sangat tidak mungkin.
Sebab, saat pemilu berlangsung di TPS. Ada petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara KPPS yang berjumlah 7 orang. Ada dua orang Linmas atau Hansip. Ada saksi dari semua kontestan pemilu.
Di luar itu masih ada calon pemilih yang sedang antre menunggu giliran. Ada petugas Panwaslu, TNI, dan Polri yang mondar-mandir. Ada pemantau dari masing-masing peserta pemilu. Belum lagi warga yang sedang nongkrong-nongkrong cantik di sekitar TPS.
Jadi bagaimana caranya menyusupkan surat suara tercoblos tanpa ketahuan sekian puluh pasang mata?
Mungkin hanya dukun santet yang mampu.
Bagaimana kalau surat suara tercoblos dimasukkan setelah pemungutan suara berakhir?
Untuk menjawab yang satu ini, "sumbu" perlu dipanjangkan sedikit lagi.
Begini. Setelah tahap pemungutan suara selesai di TPS, kotak suara dibuka satu persatu lalu dihitung. Hasilnya dicocokkan dengan jumlah pemilih di TPS.
Dok. Pri
C1 ini bukan cuma berisi data perolehan suara masing-masing peserta dan suara tidak sah. Tapi juga jumlah surat suara rusak dan surat suara sisa atau tidak terpakai. Nah, jumlah surat-surat suara itu harus sama dengan jumlah surat suara yang diterima TPS.
Selain itu, ada juga data jumlah pemilih. Data ini dirinci berdasarkan pemilih DPT, DPTb, DPK, dan DPKTb. Dan, masih dipilah juga berdasarkan jenis kelaminnya.
Dok. Pri
C1 ini ditandatangani oleh 7 anggota KPPS dan seluruh saksi perserta pemilu. Kemudian C1 dan salinannya diserahterimakan ke KPU, Panwaslu, dan juga seluruh saksi. Jadi, dokumen ini bukan hanya dimiliki oleh penyelenggara pemilu.
Dok. Pri
Dengan begitu, setelah hasil pemungutan suara"dikonversikan" menjadi C1, jangankan menyusupkan sekardus surat suara tercoblos, sampai 7 kontainer pun tidak ada gunanya.
Begitu juga dengan memusnahkan surat suara. Seperti isu yang beredar di media sosial. Katanya, saat Pilpres 2014 ada sekotak surat suara yang dibuang ke sungai di Bekasi.
Dok. Pri
Tunggu dulu. Ada yang konyol menggelitik dari hoax 7 kontainer surat suara tercoblos ini. Pemilu 2019 nanti digelar serentak. Oleh KPPS, pemilih diberikan 5 lembar surat suara; pilpres, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten. Maka, secara keseluruhan, jumlah surat suara terpakai untuk pilpres sama dengan jumlah surat suara terpakai untuk keempat pemilu lainnya.
Kalau ada tambahan 70 juta surat suara terpakai untuk pilpres, logikanya surat suara terpakai DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten masing-masing bertambah 70 juta. Pertanyaannya, ke mana 280 juta suara DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten? Apa belum dikirim dari China?
Lebih repot lagi karena surat suara untuk DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kota/Kabupaten berbeda-beda untuk setiap daerah pemilihan (Dapil).
Entah siapa pelaku pembuat hoax 7 kontainer surat suara tercoblos ini. Bisa saja dia orang cerdas yang tahu pangsa pasar dari hoax yang dibuatnya atau bisa juga orang yang "bersumbu pendek". Namun pastinya konsumen hoax ini "bersumbu pendek" atau bahkan tidak "bersumbu" sama sekali.
KTP bukan Digunakan untuk Mencurangi Pemilu, tapi ...
Sekian paragraf di atas itu baru menyinggung tentang isu surat suara tercoblos yang dikombinasikan dengan isu kotak suara kardus. Padahal masih ada sejumlah isu lainnya, seperti isu kecurangan lewat penggunaan KTP, isu e-KTP tercecer, dan isu 31 juta pemilih siluman yang terkait selisih data Kemendagri dan data KPU.
Sama seperti isu 7 kontainer surat suara tercoblos, pertanyaannya, bisakah mencurangi pemilu dengan menggunakan KTP (baik itu e-KTP palsu maupun e-KTP ganda)?
Jawabannya sama, bisa dan sangat bisa!
Hanya saja, sama seperti surat suara tercoblos, kecurangan dengan modus ini pun dapat dengan mudah terbongkar. Apalagi penggunaan KTP memiliki keterbatasan.
Di samping waktu yang hanya berdurasi 1 jam, dari pukul 12.00-13.00, KTP juga hanya bisa digunakan di TPS yang berlokasi di RW sesuai KTP.
Langsung saja ke "soal cerita".
Sebut saja namanya Joko. Joko datang ke TPS 09 yang berlokasi di RT 01 RW 02 Kelurahan Watu Kali, Kecamatan Watu Krakal, Kota Watu Uloh. Kepada petugas KPPS, Joko menunjukkan e-KTP-nya.
Jika alamat pada e-KTP sama dengan lokasi TPS atau masih di wilayah RW 02, Joko berhak mencoblos di situ. Maka, petugas KPPS wajib memberikan surat suara kepada Joko.
Tetapi, bagaimana jika Joko tidak dikenal sebagai warga RW 02? Para saksi pastinya akan beraksi. Begitu juga dengan warga yang sedang riang gembira mengikuti jalannya pesta demokrasi di sekitar TPS. Belum lagi dengan sejumlah timses yang biasanya mangkal di sekitaran area TPS.
Bisa dibayangkan, Joko akan disosor sejumlah pertanyaan, diminta menunjukan rumahnya, dan lain sebagainya.
Kalau Joko tidak mampu menjawab pertanyaan dan tidak bisa menunjukkan rumahnya, maka otomatis terbongkarlah uoaya mencurangi pemilu yang dilakukannya.
Jelas sudah, mencurangi pemilu lewat modus penggunaan KTP hanyalah ilusi belaka. Apalagi jika pelaku lapangan tidak lancar berbahasa Indonesia.
Dengan begitu, isu pengerahan atau mobilisasi tenaga kerja asing asal Tiongkok untuk memenangkan Jokowi pun secara otomatis terpatahkan.
Berikutnya isu pencurangan pemilu dengan menggunakan e-KTP tercecer. Kalau yang ini menjawabnya sangat begitu mudah. Seperti yang diberitakan, masa berlaku e-KTP yang tercecer di Bogor, Jakarta Timur, dan Sumatera Barat sudah habis alias kadaluarsa. Jadi, sudah tidak bisa dipakai lagi untuk mencurangi pemilu.
Kalau ada daerah yang masih "melegalkan" e-KTP kadaluarsa. Tetap saja tidak bisa digunakan untuk mencurangi pemilu. Kalaupun ada yang nekad dan pelakunya sebut saja bernama Bowo, maka Bowo akan diperlakukan seperti Joko.
Singkatnya, dua isu KTP ini tidak mungkin digunakan untuk mencurangi pemilu, tetapi bisa digunakan untuk membuat rusuh. Singkat saja, caranya dengan merekam peristiwa "diinterogasinya" Joko di TPS 09 kemudian kemudian memviralkannya. Gampang kan.
Sebenarnya hanya dengan seuprit pengetahuan tentang pemilu 98,2109897656 persen hoax terkait pemilu bisa dipatahkan. Termasuk hoax Umar Abduh yang mengaku-ngaku dapat informasi dari intelijen TNI-Polri. Katanya, pada Pilpres 2014 lalu Prabowo menang atas Jokowi. Video ini pun masih disebarkan.
Sementara itu, isu 31 pemilih siluman alias fiktif sudah mulai terang benderang setelah KPU menyelesaikan persoalan ini lewat prosedur pencermatan. Terlebih, kubu Prabowo sebagaimana yang disampaikan oleh Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso sudah memahami duduk persoalannya.
Sebenarnya mencurangi pemilu itu tidak perlu ribet. Serius!.
Ada "pintu" yang lebih mudah, masif, dan murah karena hanya bermodalkan printer dan kertas. Meski begitu hasilnya sangat maksimal. Sayangnya, "pintu" tersebut tidak mungkin dituliskan dalam artikel ini.
Jokowi sedang di-Ahmadinejad-kan
Nah, sekarang sudah jelas kalau segala sesuatu soal isu kecurangan hanyalah hoax belaka. Hanya ilusi yang dihalusinasikan. Namun demikian, tetap saja ada yang menyebarluaskannya.
Lucunnya, biarpun sedang hot-hot-nya isu 7 kontainer surat suara yang ternyata cuma hoax ini diributkan, masih ada saja yang shareseolah kejadian itu fakta yang sudah bukan lagi fiksi. Makanya jangan heran kalau sekarang ini banyak isu kecurangan Pilpres 2014 yang kembali diputar ulang.
Memang tidak ada satu pun dari isu kecurangan pemilu yang terbukti benar atau setidaknya diterima akal sehat. Tetapi, justru di situlah letak daya tariknya. Sebab, patut diduga bila penyebaran isu-isu tersebut dirancang untuk menggerus kepercayaan alias trust pada pelaksanaan pemilu.
Di sinilah Rocky Gerung benar. Rocky bilang persoalan kotak suara kardus bukan tentang bisa atau tidaknya digunakan untuk mencurangi pemilu, tetapi ada pada trust. Trust pada kotak kardus inilah yang sedang digerogoti.
Bagaimana trust pada kotak suara kardus tidak tergerus kalau sampai sekarang belum ada seorang pun yang menjelaskan soal kotak kardus ini. Ali Mochtar Ngabalin yang saat itu diplot sebagai lawan bicara Rocky pun hanya bisa ngablak tidak jelas. Mungkin Ngabalin perlu datang ke Mak Erot untuk memanjangkan "sumbunya".
Trust inilah yang terus dibombardir untuk dihancurleburkan. Tujuannya jelas untuk mendelegitimasi hasil pemilu. Situasi ini mirip seperti yang dialami Iran sepuluh tahun yang lalu. Disadari atau tidak, saat ini Jokowi memang sedang di-Ahmadinejad-kan. Kalau Jokowi mampu memenangi Pilpres 2019, kemenangan itu akan digugat. Dan, Gugatan ini akan diikuti adegan unjuk rasa yang tidak menutup kemungkinan berujung rusuh.
Menariknya, selain tuduhan mencurangi pemilu, Jokowi juga sempat dibidik dengan isu pelanggaran HAM dengan memanfaatkan kemampuan berakting Ratna Sarumpaet yang diplot sebagai pelakon utamanya.
Waktu itu, foto wajah bonyok tak menentu Ratna diviralkan dengan begitu masif. Akibatnya, kemarahan publik sontak meletup. Rencana demo berjilid-jilid pun sudah siap digelar.
Untungnya, polisi sigap mengungkap kasus ini. Hoax penganiayaan Ratna pun terbongkar hanya dalam hitungan kurang dari 24 jam. Bisa dibayangkan kalau ketika itu polisi tidak bertindak cepat dan tepat atau bahkan gagal.
Bisa jadi saat ini Jokowi menjadi bulan-bulanan. Para pengunjuk rasa bukan lagi meneriakkan "Ganti Presiden", tapi "Turunkan Jokowi", "Seret Jokowi", "Gantung Jokowi di Monas", dan masih banyak lagi yang lebih seram.
Kasus foto wajah bonyok Ratna ini mirip-mirip dengan kasus video kematian Neda Agha Soltan yang ternyata juga hoax. Gadis yang tergeletak di jalan dengan darah di wajahnya dalam video itu diduga hanyalah boneka plastik. Videonya bisa ditonton di SINI
Ya, Neda sebenarnya masih hidup. Pada 14 November 2012, BBC memublikasikan hasil wawancaranya dengan Neda. Kepada BBC, Neda menceritakan bahwa sebenarnya ia telah mengabarkan kalau dirinya masih hidup. Jadi, Neda bukan pelaku seperti Ratna. Neda adalah korban.
Dari penelusuran lewat mesin pencari Googe ditemukan sejumlah konten yang meluruskan berita kematian Neda. Sayangnya, bantahan tersebut kalah oleh derasnya propaganda kematian Neda. Malah, konten-konten pelurusan informasi seperti yang diunggah oleh akun Detektivemoonk pada 29 Juni 2009 dihapus oleh otoritas YouTube.
Kemasifan penyebaran konten hoax Ratna dan Neda ini sangat mirip dengan memviralnya informasi hoax 7 kontainer surat tercoblos asal China. Ketiganya sama-sama memaksimalkan fungsi jejaring media sosial.
Kenapa bisa begitu?
Untuk kasus Neda sulit mencari tahu jawabannya. Tapi, untuk hoax Ratna dan hoax 7 kontainer, jawabannya mudah.
Kalau dari sejumlah pantauan, netijen pendukung Prabowo yang memviralkan isu Ratna dan 7 tontainer surat suara terekam jauh lebih kompak dan militan ketimbang pendukung Jokowi. Malah menurut temuan GDILab, netijen pendukung Prabowo bergerak sebagai cyber troops dengan komando terpusat.
Sementara, masih menurut GDILab, pendukung Jokowi lebih banyak bergerak secara individual. Itulah kenapa muncul kesan bila netijen pendukung Jokowi kedodoran.
Banyak pendukung Jokowi khususnya veteran pada Pilpres 2014 yang berpendapat ada sebuah kesalahan dalam strategi kampanye di ranah media sosial.
Ini baru soal strategi menghadapi taktik netijen pendukung Prabowo yang gencar mempropagandakan adanya kecurangan pemilu. Padahal sedikit banyak propaganda tersebut sudah meracuni banyak netijen. Belum lagi soal serangan hitam lannya. Semisal isu beras plastik yang masih terus digelindingkan.
Pertanyaan selanjutnya, sampai kapan netijen pendukung Jokowi terus keteteran? Bisakah mengubahnya dalam 1-2 bulan ke depan? Jika dibiarkan bakal senasib dengan Mancherter United saat dibesut Jose Mourinho yang gagal mengadaptasi dinamika strategi lawan-lawannya.
No comments:
Post a Comment