Kerusuhan Tanjung Priok, Kejamnya Soeharto Bantai Ratusan Ulama
Argo . 10 hours ago . 6 min read . 338
Kalau HTI, FPI, Presidium 212, Rizieq Shihab, Bahar bin Smith, dan kaum over dosis micin lainnya tumbuh di era the smilling murder Presiden Soeharto, dipastikan mereka hanya tinggal tulang belulang saja karena dibantai sampai habis tak tersisa.
Di era tangan besi Presiden Soeharto gerombolan micin macam HTI, FPI, Presidium 212, Rizieq Shihab, Bahar bin Smith, itu obatnya cuma satu, dihajar pakai rentetan peluru dari moncong senjata otomatis, selesai perkara.
Ini yang terjadi pada tanggal 12 September 1984 yang silam. Peristiwa saat itu dikenal sebagai peristiwa pembantaian Tanjung Priok yang menewaskan kurang lebih 400 massa umat Islam dan para Ulama, Ustadz dan Habaib melalui moncong senjata militer Orba saat itu.
Para Ulama, Ustads, dan Habaib dan ratusan umat Islam tewas bergelimpangan meregang nyawa dengan mata melotot dan mulut menganga diterjang timah panas dari senapan otomatis tentara Orde Baru.
Pertumpahan darah tersebut berawal dari Abdul Qadir Djaelani, seorang Ulama garis keras sekaligus tokoh masyarakat di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Abdul Qadir Djaelani ini juga adalah Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) saat itu.
Abdul Qadir Djaelani adalah Ulama garis keras yang kerap menyampaikan ceramah yang dituding pemerintah Orde Baru menolak Pancasila, provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional. Dari situlah kejadian berdarah itu bermula.
Abdul Qadir Djaelani dan beberapa Ulama lainnya ditangkap karena dituding melakukan tindak pidana subversi berupa provokasi dan hasutan.
Mereka dituding menghasut umat Islam melalui ceramah dan khotbah mereka yang menolak penerapan asas tunggal Pancasila, serta kesenjangan sosial antara pribumi dengan non-pribumi.
Akibatnya umat Islam saat itu marah besar dan menuntut agar Abdul Qadir Djaelani dan beberapa Ulama lainnya yang ditangkap aparat keamanan segera dibebaskan tanpa syarat.
Permohonan pembebasan para Ulama yang ditahan oleh pemerintah Orba tidak digubris sama sekali oleh pemerintah saat itu.
Maka pada tanggal 12 September 1984, sekitar 1.500 umat Islam bergerak menuju Polres Tanjung Priok, yang lainnya ke arah Kodim yang berjarak tidak terlalu jauh, hanya sekira 200 meter.
Ribuan massa Umat Islam dihadang pasukan militer dengan persenjataan lengkap, termasuk alat-alat berat perang lainnya seperti panser dan tank-tank militer.
Para demonstran berhadapan langsung dengan pasukan tentara yang siap tempur. Mereka meneriakkan takbir dan Asma Allah sambil terus merengsek maju ke arah pagar betis pasukan militer yang menghadang mereka.
Tanpa disadari oleh para demonstran, mereka telah dikepung dari segala penjuru oleh pasukan militer. Para pasukan militer membentak mereka agar mundur, namun disambut oleh para Demonstran dengan teriakan takbir dan pekik asma Allah yang bersahut-sahutan.
Tiba-tiba militer mundur dua langkah, lalu terdengarlah suara rentetan tembakan yang memekakkan telinga di tengah kerumunan banyak orang saat itu.
Rentetan tembakan tersebut diikuti oleh pasukan militer lainnya yang langsung memuntahkan peluru secara sporadis dari moncong senjata mereka ke arah ribuan umat Islam yang merengsek maju sambil meneriakan takbir dan Asma Allah saat itu.
Ribuan umat Islam pun langsung lari tunggang langgang dan tumbang bergelimpangan dihajar tembakan di punggung, lalu tersungkur berlumuran darah dan tewas dengan mata melotot dan mulut menganga.
Dalam sekejap jalanan dipenuhi dengan mayat manusia yang tewas bersimbah darah. Ribuan orang lainnya panik dan berlarian di tengah berondongan hujan peluru.
Sebagian lainnya tiarap sambil menutup kedua telinga mereka. Sebagian lainnya lari sembunyi di got-got dan selokan-selokan di sisi jalan dengan wajah pucat pasi.
Mereka yang ketakutan lari lintang pukang menyelamatkan diri dihajar berondongan senjata tanpa ampun dan belas kasihan.
Suasana saat itu sangat mencekam layaknya di tengah medan perang. Pasukan militer terus memberondong peluru tiada henti ke arah ribuan massa yang kocar kacir dengan membabi-buta.
Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan diinjak-injak untuk memastikan apakah masih ada yang hidup atau tidak.
Jika masih ada yang bergerak-gerak, maka dihajar dengan rentetan tembakan sampai mereka benar-benar diam tak bergerak dan mati.
Di saat yang bersamaan, dari arah pelabuhan Tanjung Priok, berdatangan konvoi truk militer yang mengangkut pasukan tambahan yang melaju dengan kecepatan tinggi.
Konvoi kendaraan-kendaraan perang militer itu menerjang dan melindas massa yang bergelimpangan di jalanan.
Teriakan jerit kesakitan menyatu dengan bunyi gemeretak tulang-tulang yang remuk dilindas truk tentara yang besar-besar itu.
Dari atas truk-truk militer, para pasukan memuntahkan peluru-peluru tajam dari senjata-senjata otomatis ke arah ribuan jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan, got-got dan selokan.
Kurang lebih 400 orang tewas seketika dalam tragedi berdarah itu, belum termasuk korban luka parag yang kelojotan karena berondongan tembakan dan korban yang menghilang entah ke mana tak tentu rimbanya.
Truk-truk besar tersebut lalu berhenti dan turunlah para pasukan militer. Mereka mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan di jalan raya dan selokan, lalu melemparkan mayat-mayat tersebut ke dalam truk seperti melempar karung goni untuk dibuang di suatu tempat.
Setelah truk besar yang penuh dengan mayat umat Islam dan para Ulama itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil pemadam kebakaran yang segera menyiram dan membersihkan darah-darah yang bergelimang di jalan raya sampai bersih.
The smiling murder Presiden Soeharto, tidak menyesal terjadinya peristiwa sadis Tanjung Priok 1984 itu. Dengan senyum khasnya the smilling murder itu bilang bahwa siapapun yang melanggar hukum dan menentang Pancasila harus diambil tindakan tegas.
Presiden Soeharto mengecam keras para Ulama yang dianggap telah menciptakan kegaduhan. Menurut pembunuh rakyat yang berdarah dingin itu, melaksanakan keyakinan dan syariat agama tentu saja boleh, akan tetapi jangan mengacau.
Peristiwa tragedi kemanusiaan di Tanjung Priok pada tahun 1984 yang silam merupakan salah satu dari sekian banyaknya rentetan jejak dan fakta kejinya masa pemerintahan Orde Baru dibawah kendali tangan besi Presiden Soeharto.
Satu masa rezim militer yang berlumuran darah dari awal masa kekuasaannya hingga akhir masa kediktatorannya dengan menunggangi militer sebagai mesin pembunuh untuk menopang kekuasannya.
Militer saat itu adalah suatu bentuk legitimasi bagi the smilling murder Presiden Soeharto untuk melakukan berbagai tindakan represif terhadap rakyatnya sendiri.
The smilling murder Presiden Soeharto kerap memanfaatkan kekuatan militer untuk mengamankan kekuasaannya, sekalipun dengan cara melakukan pelanggaran-pelanggaran HAM yang paling berat sekalipun.
Tragedi Tanjung Priok merupakan salah satu peristiwa pelanggaran HAM berat di negeri zamrud khatulistiwa ini yang terjadi akibat tindakan berlebihan pihak militer dalam menghadapi aksi umat Islam saat itu.
Umat Islam menjadi korban dari perilaku kekerasan dan korban sistem pemerintahan yang tidak adil. Coba kalau Soeharto sampai saat ini masih berkuasa, saya tidak bisa bayangkan seperti apa nasib para kaum over dosis micin itu
Oleh karena itu bersyukurlah kalian yang merasa diri hebat dengan mengatasnamakan diri HTI, FPI, Presidium 212, dan lain sebagainya hidup di era Reformasi dan Demokrasi ini.
Bersyukurlah kalian yang hidup di era pemerintah yang menjunjung tinggi iklim demokrasi dan yang mencintai rakyatnya dengan sumbangsih kerja keras di segala bidang.
Bersyukurlah kalian yang hidup di era pembangunan Infrastruktur di mana-mana ini, bukan pemerintah yang menjalankan kekuasaannya dengan tangan besi militer.
Makanya saya tanya, masih mau pilih menantunya the smiling murder itu jadi Presiden di Pemilu 2019 mendatang? Kalau saya sih ngeri, entah kalau yang lain.
Kura-kura begitu.
#JokowiLagi
Argo
NKRI Harga Mati
Bung Argo, kali ini tulisan anda harus saya kritik tajam karena itu hanya sekelumit cerita yang bung ambil entah darimana, apakah dari Komnas HAM, Kontras maupun media lainnya. Tapi biarkanlah saya disini warga tanjung priok menambahkan dan mengkoreksi kronologis peristiwa Tanjung Priok.
Benar, bahwa Abdul Qadir Djaelani adalah Ulama garis keras yang kerap menyampaikan ceramah yang dituding pemerintah Orde Baru menolak Pancasila, provokatif dan berpotensi mengancam stabilitas nasional. Dari situlah kejadian berdarah itu bermula.
Tidak hanya itu diseputaran wilayah Semper, Rawabadak, Kebon Bawang, Warakas, ceramah2 gerombolan Djaelani juga setiap hari/ malam menyasar dan menyerang masyarakat Kristen secara terang benderang dan tanpa batasan.
Kerusuhan dimulai dengan penjarahan sampai pemerkosaan warga yang dianggap keturunan yang semuanya bermula dari Kodim Jakarta Utara tidak mau melepaskan beberapa pentolan gerombolan SARA ini. Massa saat itu sudah melengkapi dirinya dengan Senjata Api (hampir semuanya rakitan) dan Senjata Tajam. Titik penjarahan terparah itu dekat rumah saya di jalan Muncang, kemudian pasar Lontar, Rawabadak sampai jalan Deli. Bahkan yang terkenal korban terbakar mati satu keluarga sampai dengan para asisten rumah tangganya yaitu Apotik Tanjung di wilayah Pocis (Koja Lama).
ABRI kemudian memblokir gerombolan perusuh itu di dekat RS Koja dan Pertamina di jalan Deli. Tembakan peringatan setau saya sudah dilepaskan berulang kali tapi gerombolan bersenjata senpi dan sajam ini tetap merangsek maju karena kabarnya mereka sudah "dimandikan" kebal sajam dan peluru dan kemudian terjadilah penembakan di tempat sampai pada pengejaran.
Saya bisa bercerita begini karena saat penembakan terjadi saya berada tidak jauh dari lokasi mencoba menjemput ibu saya yang tertahan oleh polisi di pos polisi pocis untuk keamanan.
Jadi dalam hal ini, Pemerintah ORBA saat itu dibawah komando langsung PANGAB Jend. LB Moerdani sudah tepat melakukan langkah pengendalian dan pengamanan.
Jadi pembantaian terhadap gerombolan radikal ini, bukan karena mereka penentang Pancasila, SARA, menuntut pembebasan Djaelani dll tetapi karena gerombolan mereka ini sudah melakukan penjarahan dan pemerkosaan terhadap toko, rumah sampai warga tionghoa. Itulah awal mula pembantaian yang jarang diangkat ke media oleh Komnas HAM beserta TGPF Tanjung Priok
No comments:
Post a Comment