Sejarah Sumpah Pemuda dan Peran Warga Keturunan Tionghoa
Museum Sumpah Pemuda, di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta Pusat. Dahulu adalah rumah kos milik Sie Kong Liong, yang digunakan sebagai tempat diselenggarakan Kongres Pemuda II, pada 28 Oktober 1928, yang melahirkan Sumpah Pemuda (Tempo.co.)
Pluralisme, toleransi, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia sudah ada sejak jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan dari pluralisme, toleransi, persatuan dan kesatuan itu pula tercipta kekuatan-kekuatan maha dahsyat yang kemudian berhasil memerdekakan Indonesia dengan nama Republik Indonesia, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kenapa dipakai sebutan "kesatuan"? Karena Indonesia terdiri dari aneka suku bangsa, etnis, agama, budaya, dan bahasa yang bersatu-padu terus-menerus membangun bangsa dan negara ini.
Pluralisme yang bersatu, bhinneka tunggal ika, merupakan suatu keniscayaan, yang harus dijadikan kekuatan penting bangsa Indonesia. Itu pula yang dipikirkan oleh para pendiri Republik Indonesia, dan oleh karena itulah mereka tuangkan di dalam Pancasila yang dijadikan dasar negara (filosofi bangsa) Indonesia.
Pluralisme dan toleransi dalam perbedaan untuk satu tujuan itu pula sudah ada pada saat sejumlah pemuda yang terdiri dari berbagai suku bangsa, etnis dan agama bersatu mengadakan Kongres Pemuda Kedua, di Jakarta (Batavia), pada 27-28 Oktober 1928, yang melahirkan satu konsensus yang terkenal dengan nama "Sumpah Pemuda" itu.
Menurut Buku Petunjuk Museum Sumpah Pemuda, ada sekitar 700 orang dari berbagai daerah, suku bangsa, etnis dan agama yang menghadiri Kongres Pemuda tersebut. Di antaranya ada Djuanda dan Poeradiredja (Sunda), Katjasungkana, Sartono, atau Sarmidi Mangunsarkoro (Jawa, Madura), Tjokorda Gde Raka Sukawati (Bali), Muhammad Yamin (Minang), Amir Sjarifudin (Tapanuli), Pantouw (Minahasa), Aitai Karubaba dan Poreu Ohee (Papua), ada pula orang Eropa dan Indo Eropa seperti pendeta van Hoorn, dan pemuda-pemuda Tionghoa, seperti Sie Kong Liong, Kwee Thiam Hong, Lauw Tjoan Hok, Ong Kay Sing, dan Tjio Djin Kwie.
Di dalam buku Bunga Rampai, 50 Tahun Soempah Pemoeda, disebutkan bahwa Kwee Thiam Hong adalah seorang pedagang Tionghoa yang tertarik dengan pergerakan kemerdekaan Indonesia, ia kelahiran Palembang, dan oleh karena itu di Kongres Pemuda Kedua itu, dia menjadi anggota dari Jong Sumatera Bond. Ia mengajak tiga sahabatnya, Ong Kay Sing, Liauw Tjoan Hok dan Tjio Djin Kwie untuk ikut pergerakan kepemudaan di Kongres Pemuda Kedua itu.
Dalam sejarah Sumpah Pemuda, di antara para pemuda Tionghoa, Sie Kong Liong punya peran sangat penting, karena dialah pemilik rumah "Indonesische Clubhuis", di Kramat Raya 163, Jakarta, tempat diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua, pada 28 Oktober 1928 itu.
Sie Kong Liong sedari awal sudah mendukung dan mengikuti pergerakan kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh para pemuda di zaman itu. Ia dengan sukarela menyediakan rumahnya itu sebagai tempat diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua tersebut, meskipun dengan risiko tinggi, karena jika ketahuan pemerintah Kolonial Belanda (Hindia Belanda), ia bisa dipenjara.
Digunakan rumah Sie Kong Liong sebagai tempat diselenggarakan Kongres Pemuda Kedua itu juga bukan merupakan suatu kejadian yang spontan.
Sejak 1908 rumah itu disewa untuk dijadikan tempat tinggal dan tempat belajar oleh para pemuda pelajar dari Stovia (School dot Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RS (Rechtsschool), salah satu dari para pelajar itu adalah Muhammad Yaman, yang kelak juga punya peran penting dalam kemerdekaan Indonesia, dan berjasa dalam menetapkan Pancasila dan UUD 1945 bersama Soekarno, Muhammad Hatta, dan lain-lain.
Teks Sumpah Pemuda juga berasal dari ide Muhammad Yamin. Saat Kongres hari kedua sedang berjalan, Yamin menulis teks Sumpah Pemuda itu di secarik kertas, menyodorkan ke pimpinan Kongres, Soegondo Djojopuspito, yang lalu membacakannya untuk didengar oleh semua peserta Kongres. Teks itu pun mendapat sambutan meriah dari semua peserta, kemudian disepakati menjadi "Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia", yang kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Sejak 1927, rumah itu diberi nama "Indonesische Clubhuis", atau "Clubgebouw" (Gedung Pertemuan Indonesia), diberi nama demikian karena ketika itu rumah itu sering digunakan oleh berbagai organisasi kepemudaan untuk melakukan pertemuan-pertemuan guna membicarakan rencana-rencana pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Pemuda Soekarno (Bung Karno) termasuk yang sering datang ke rumah tersebut untuk berdiskusi dengan para pemuda lainnya membicarakan tentang format perjuangan yang paling efektif. Sie Kong Liong sebagai pemilik rumah juga kerap berdiskusi dengan Bung Karno dan Muhammad Yamin tentang konsep-konsep kemerdekaan Indonesia.
Dalam suatu pertemuan, pada 15 Agustus 1928, para pemuda itu bersepakat untuk mengadakan Kongres Pemuda Indonesia yang kedua, pada 27-28 Oktober 1928, di rumah Sie Kong Liong. Pada kesempatan itu terpilih Soegondo Djojopuspito, Ketua Perhimpunan Pemuda Indonesia (PPPI) sebagai Ketua Kongresnya.
Jika pada Kongres Pemuda Pertama (Jakarta, 30 April -- 2 Mei 1926) telah berhasil menyelesaikan masalah-masalah perbedaan kedaerahan menjadi persatuan Indonesia, maka diharapkan pada kongres yang kedua akan dicapai hasil yang lebih penting lagi, dan harapan itu pun terkabul, dengan lahirnya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, yang sampai kini menjadi salah satu perekat utama bangsa Indonesia yang sangat pluralis itu.
Rumah Sie Kong Liong, digunakan pada hari kedua atau hari penutupan Kongres, 28 Oktober 1928. Sebelumnya di hari pertamanya, 27 Oktober, acara dilangsungkan di Kompleks Gereja Katedral, Jakarta, di ruangan milik Katholieke Jongenlingen Bond (Perkumpulan Pemuda Katolik), tetapi karena tanggal 28 Oktober 1928 adalah hari Minggu, agar tidak mengganggu misa di Gereja Katedral itu, para pemuda memutuskan memindahkan lokasi acara ke tempat lain.
Pada hari kedua kongres, pertama kali lokasi acara yang dipilih adalah di gedung Oost Java Bioskop, tetapi karena banyaknya peserta, mengakibat ruang bioskop itu tak cukup menampung seluruh peserta, sehingga banyak yang berdiri. Dari situ, dilanjutkan di rumah milik Sie Kong Liong itu, dari siang sampai malam, sampai Kongres selesai.
Naskah asli Sumpah Pemuda (sumber:informazone.com)
Dua minggu setelah kongres, atau pada 10 November 1928, koran Tionghoa berbahasa Melayu, "Sin Po" untuk pertama kalinya memuat naskah lagu "Indonesia Raya" dengan judul "Indonesia" lengkap dengan partitur (notasi musik/notasi balok) yang ditulis oleh WR Supratman. Dimuatnya naskah lagu tersebut di Sin Po, membuat lagu itu menjadi semakin terkenal di antara para pemuda penggerak kemerdekaan Indonesia. Setiap ada kongres, pertemuan, dibuka dengan lagu tersebut yang dinyanyikan oleh para pesertanya.
Koran Tionghoa berbahasa Melayu, Sin Po, edisi 10 November 1928 menjadi yang pertama kali menyebarluaskan lagu kebangsaan
Replika dari partitur Indonesia Raya yang dimuat di koran Sin Po itu ada di Museum Sumpah Pemuda. Dipasang di tembok sebagai latar belakang replika para pimpinan kongres.
(Sumber: https://winnymarlina.com)
Sin Po juga yang pertama kali meniadakan istilah 'inlander' dari semua penerbitannya, karena dirasa sebagai penghinaan oleh rakyat Indonesia, dan menggantikannya dengan "Indonesia".
Sebagai balasannya, koran-koran milik orang Indonesia juga mengganti sebutan "Cina" dengan "Tionghoa" dalam semua penerbitannya. Dalam percakapan sehari-hari, Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tjipto Mangoenkoesoemo kemudian juga mengganti kata "Cina" dengan "Tionghoa."
Contoh koran Sin Po edisi 21 Agustus 1926 yang menulis kata
Setelah beberapakali berganti pemilik dan fungsinya, rumah bersejarah yang terletak di Jalan Kramat Raya Nomor 106, Jakarta itu, difungsikan sebagai Museum Sumpah Pemuda, diresmikan pada 20 Mei 1973 oleh Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Ali Sadikin. Pada 20 Mei 1974 diresmikan juga oleh Presiden Soeharto.
Dari sekelumit sejarah Sumpah Pemuda tersebut di atas, jasa dari Sie Kong Liong tidak dapat dikatakan kecil, tetapi kenapa namanya justru hilang dari narasi sejarah Sumpah Pemuda, terutama dalam buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah?
Hal ini dipertanyakan juga oleh sejarawan Indonesia, Didi Kwartanada. Ia mengatakan, ada yang menarik dari hilangnya nama Sie Kong Liong dari sejarah resmi Indonesia, karena sebagai pemilik rumah yang dengan sukarela menyediakan rumahnya untuk acara kongres dengan agenda memperjuangkan kemerdekaan Indonesia itu, ia menanggung risiko tinggi, ditangkap Pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Pemandu Wisata Museum Sumpah Pemuda, Ari Bakti, atas jasa-jasa dari Sie Kong Liong ini, salah satu peserta Kongres Pemuda II dari Jong Celebes, bernama Jo Mandani, pada 1958, pernah mengusulkan ke Sekretariat Negara, untuk memberi penghargaan kepada Sie Kong Liong. Namun, tidak diketahui kabarnya hingga kini.
Maka dari itu, perlu kiranya, pemerintahan Jokowi menyelidiki kembali sejarah Sumpah Pemuda dan peran Sie Kong Liong di dalamnya, jika memang ia pantas menerima suatu penghargaan dari negara, termasuk gelar pahlawan nasional, maka Presiden Jokowi jangan ragu memberikannya.
**
Dari sekelimut sejarah Sumpah Pemuda tersebut di atas harus diakui bahwa sejak dulu etnis Tionghoa juga mempunyai peran penting di dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak hanya di sejarah Sumpah Pemuda, di beberapa sejarah penting kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia juga ditemukan peran penting tokoh-tokoh Tionghoa-Indonesia tersebut.
Namun peran itu baru bisa berarti ketika ia meleburkan diri dalam semangat persatuan Indonesia yang terdiri dari aneka suku bangsa, etnis, agama dan golongan itu. Hal itu terlihat jelas sekali di dalam sejarah Sumpah Pemuda, ketika para pemuda yang berbeda-beda asal-usulnya, bersatu di rumah Sie Kong Liong, di dalam kongres Pemuda Indonesia Kedua itu, meleburkan dirinya dengan satu konsensus:
Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Dengan semangat Sumpah Pemuda itu pula, Soekarno di dalam pidatonya, di sidang BPUPKI, pada 1 Juni 1945, antara lain menyatakan dengan suaranya yang menggelagar penuh semangat bahwa:
"Saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu Negara semua buat semua. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi semua buat semua".
"Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua!"
"Negara Republik Indonesia ini bukan milik sesuatu golongan, bukan milik sesuatu agama, bukan milik sesuatu suku, bukan milik sesuatu golongan adat-istiadat, tetapi milik kita semua."
Di dalam sejarah Sumpah Pemuda itu pula, kita bisa melihat kematangan berpikir pemuda-pemuda di zaman dahulu kala itu tentang pentingnya persatuan Indonesia, tidak ada pemikiran bahwa golongannya sendiri yang paling penting, yang paling berjasa, sedangkan golongan lain sebaliknya.
Peribahasa semacam, "Itik se atellor, ajam se ngeremme. Itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Seseorang yang bekerja keras, hasilnya dinikmati orang lain", tidak berlaku bagi mereka. Tidak pula dikenal istilah golongan pribumi-nonpribumi di antara para pemuda itu. Karena istilah tersebut justru berasal dari pemerintahan Kolonial Belanda untuk dapat melemahkan semangat persatuan dan perjuangan bangsa Indonesia.
Ironisnya, di masa kini, justru bermunculan tokoh-tokoh yang mengedepankan politik identitas, memainkan politik populisme, yang dengan sengaja mempertentangkan perbedaan itu berdasarkan dikotomi etnis dan/atau agama; pribumi vs nonpribumi, Islam vs kafir, mengatasnamakan rakyat miskin melawan kaum pemodal besar, rakyat tertindas melawan penguasa lalim, disertai dengan pengaburan, pemutarbalikan sejarah, dan penyebaran kebencian SARA, untuk memperoleh dukungan politik sesaat demi meraih kekuasaan, tanpa memperdulikan dampak destruktifnya berupa ancaman besar terjadinya perpecahan di antara sesama anak bangsa. Yang penting menang dan berkuasa dulu, urusan ancaman perpecahan bangsa urusan nanti.
Dengan menggunakan teknologi dan pengaruh besar media sosial, tokoh-tokoh tersebut secara terstruktur, sistematis, dan masif berupaya semaksimal mungkin meracuni cara berpikir anak-anak muda (pemuda-pemudi) Indonesia yang jumlahnya hampir separuh dari penduduk Indonesia, untuk larut bersama mereka di dalam politik identitas, bersikap intoleran, dengan menanamkan rasa kebencian dan permusuhan SARA terhadap semua orang Indonesia yang tidak sepaham, dan bukan "golongan mereka."
Patut dipertanyakan apakah semangat Sumpah Pemuda tidak ada di dalam kamus berpikir mereka.
Persatuan, kesatuan, dan kelangsungan NKRI pun terancam, jika masyarakat mulai terpecah-belah, berbagai aliran radikalisme, yang bertentangan dengan Sumpah Pemuda dan Pancasila pun akan dengan semakin berpotensi masuk menguasai Indonesia.
Beruntunglah Indonesia masih mempunyai kekuatan persatuan yang jauh lebih kuat. Masih jauh lebih banyak para pemuda-pemudi Indonesia masa kini (anak-anak muda milenial) yang punya wawasan yang sangat luas, karena memanfaatkan secara positif teknologi internet dan media sosial, yang dengan segala macam kreativitasnya bersatu-padu membangun Indonesia dalam semangat persatuan Indonesia. Semangat Sumpah Pemuda tertanam di dalam jiwa anak-anak muda milenial ini.
Hal tersebut diperkuat dengan adanya beberapa organisasi masyarakat (keagamaan) yang menghimpun para pemuda-pemudi Indonesia untuk menjaga nilai-nilai keberagaman, toleransi, persatuan, dan perdamaian yang belakangan ini terancam.
Sebagaimana ditulis koran Kompas edisi "Sumpah Pemuda" (28/10/2017), di artikelnya yang berjudul: "Anak Muda Jaga Indonesia".
Lewat kreativitas dan kecerdasan yang dimilikinya, anak muda masa kini berusaha mengambil peran untuk memajukan Indonesia. Gerakan ini memberi harapan baru bagi masa depan Indonesia yang lebih baik.
Ruang gerak yang diisi atau diciptakan anak muda masa kini merentang luas. Kaum muda yang bergabung dalam Maarif Institue, misalnya, aktif bergerak menjaga nilai keberagaman, toleransi, persatuan, dan perdamaian yang belakangan ini terancam. "Segelintir elite politik ada yang berupaya memanfaatkan kelompok radikal untuk meraih kepentingan politiknya. Harus ada kontra-wacana terhadap gerakan ini," ujar Abdullah Darraz (33), Direktur Eksekutif Maarif Institute, Kamis (26/10), di Jakarta.
Darraz dan anak muda Maarif Institute ingin Indonesia tetap utuh. Mereka berupaya mengedukasi publik dan menyebarkan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Lewat pengajian, mereka mempertemukan ulama moderat dan progresif untuk membahas fikih kebinekaan.
Jalan serupa juga ditempuh anak-anak muda yang bergabung di Nahdlatul Ulama (NU). Fariz Alniezer (29) adalah kader NU yang menjadi penggerak komunitas Omah Aksoro. Mereka rutin menggelar acara bedah buku dan kebudayaan untuk menyemai nilai-nilai keindonesiaan untuk membuka pikiran publik.
"Dengan mendiskusikan pemikiran dan buku, orang mendapat ruang untuk berpendapat sekaligus mendengar pendapat orang lain," ungkap Fariz.
Pertengahan Oktober lalu, Omah Aksoro menggelar musikalisasi esai Mahbub Djunaidi, seorang tokoh NU yang banyak menyoroti problem kebangsaan. Sambil menyimak pesan Mahbub, khalayak menikmati musik jazz.
Aan Rukmana (35), Direktur Institute Etika dan Peradaban Paramadina, mengambil jalan literasi untuk mendidik sesama anak muda tentang pentingnya berpikir kritis dan menguasai konten media. "Berkat media sosial, anak muda lebih ekspresif dan tidak canggung dalam berpendapat. Sayangnya, ekspresi ini kadang tidak berdasarkan logika," kata Aan.
Anak-anak muda milenial itu pula yang dengan kreativitas berdasarkan pemikirannya tentang pentingnya bersatuan dalam perbedaan mencetuskan slogan baru sebagai "Sumpah Pemuda Milineal" : "Kita Tidak Sama, tetapi Bekerja Sama". *****
Daftar pustaka:
- Museumsumpahpemuda.com
- Koran Kompas, edisi 28 Oktober 2017
- Wikipedia
- Apakabardunia.com
- Israindonesia.org/keturunan-tionghoa-dalam-sumpah-pemuda/
- pojoksatu.id
No comments:
Post a Comment