PK Ditolak dan Tidak Ajukan Grasi, Ahok Tetap Bisa Nyapres
Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan narapidana kasus penodaan agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Dengan demikian Ahok tetap harus menjalani sisa masa hukumannya selama 2 tahun penjara yang diputus PN Jakarta Utara.
Kepastian ditolaknya PK Ahok disampaikan juru bicara MA hakim agung Suhadi. Putusan perkara nomor 11 PK/PID/2018 yang ditangani hakim agung Artidjo Alkostar, Salman Luthan, dan Margiatmo diputus dengan suara bulat.
Setelah PK ditolak, Ahok memiliki satu opsi untuk mendapat keringanan hukuman yakni melalui grasi. Namun jika melihat tiga hal ini, sepertinya Ahok juga tidak akan menempuh jalan itu. Pertama, Ahok tentu tidak ingin mengakui kesalahannya. Padahal pengakuan bersalah menjadi syarat utama bagi narapidana yang mengajukan grasi.
Kedua, masa hukuman yang tinggal beberapa bulan lagi. Seperti diketahui Ahok diputus bersalah dengan hukuman 2 tahun penjara oleh PN Jakarta Utara pada tanggal 9 Mei 2017 sehingga setelah menjalani 2/3 masa hukumannya, atau sekitar bulan September 2018, Ahok sudah bisa mendapat pembebasan bersyarat. Sementara proses grasi biasanya memakan waktu bertahun-tahun. Bisa saja dipercepat sebagaimana putusan PK yang hanya 20 hari dari 250 hari maksimal perkara PK diproses, namun tetap riskan. Sebab grasi hanya meringankan sampai dengan menghapus pelaksanaan hukuman, namun kesalahannya tetap melekat alias tetap dianggap bersalah. Itu sebabnya grasi hanya bisa diberikan setelah ada pengakuan bersalah dari narapidana bersangkutan.
Ketiga, situasi politik saat ini tidak mendukung. Meski Presiden Joko Widodo merupakan teman dekat dan mantan "bosnya" di DKI Jakarta, tidak berarti semuanya bisa mulus. Terlebih Jokowi akan mengikuti kontestasi elektoral untuk mempertahankan kekuasaannya. Tudingan sebagai pelindung penoda agama tentu akan dihindari. Jika pun tidak menolak, proses grasi dipastikan tidak akan secepat PK.
Bagaimana dengan kemungkinan mengajukan PK lagi dengan novum baru? Tentu harus melihat dulu alasan penolakan PK yang sekarang, apakah karena novumnya lemah ataukah faktor lain yang tidak terkait novum. Sebab, Artidjo Alkostar termasuk hakim agung yang berpendapat PK tanpa banding dan kasasi tidak boleh diterima. Sebelum adanya putusan tersebut, banyak terpidana korupsi yang langsung mengajukan PK tanpa proses banding maupun kasasi untuk menghindari risiko bertambahnya hukuman. Sebab hakim PK tidak bisa menambah hukuman atau mengurangi hukuman sebagaimana majelis hakim tingkat banding dan kasasi.
Jika hal ini yang dijadikan alasan, maka percuma saja mengajukan PK lagi sekalipun memiliki novum baru selain putusan Buni Yani, pihak yang memposting potongan video pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang menyinggung surah Al Maidah 51 dan sudah divonis 1,5 tahun penjara namun belum inkrah karena mengajukan banding, disertai caption yang tidak sesuai isi pidato.
Jika Ahok tidak mengajukan grasi dan juga PK lagi sampai bebas murni, sehingga seluruh proses hukum dianggap selesai, apakah berarti karir politiknya tamat? Sebab Ahok dinyatakan bersalah melanggar pasal Pasal 156a KUHP yang ancaman hukumannya 5 tahun.
Banyak yang meyakini karir politik Ahok tamat. Tetapi tidak kurang banyak juga yang percaya nama mantan Bupati Belitung Timur itu akan semakin bersinar usai menjalani hukuman di sel Mako Brimob Kelapa Dua Depok. Bagi pendukungnya, penahanan Ahok tidak bedanya dengan para tokoh dunia yang meringkuk di sel tahanan akibat tekanan politik. Bahkan dulu ada yang menyandingkannya dengan tokoh pembebas apartheid dari Afrika Selatan Nelson Mandela, yang menurut hemat penulis kurang tepat karena seolah membenarkan ketidakmampuan Presiden Jokowi mengendalikan isu SARA.
Terlepas perdebatan antara yang pro dan kontra, yang pasti karir politik Ahok belum tamat. Selepas hukumannya nanti, Ahok masih bisa mengikuti kontestasi elektoral di tingkat lokal. Hal ini sesuai putusan Mahkamah Konsitusi (MK) yang telah menghapus Pasal 7 huruf (g) UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada yang melarang mantan narapidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih untuk mencalonkan diri sebagai peserta pemilihan kepala daerah. Ahok juga masih diperbolehkan menjadi calon anggota legislatif sesuai Pasal 240 ayat 1 huruf (g) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
Namun demikian bagi mantan narapidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih ada syarat yang lumayan berat agar bisa menjadi peserta kontestasi elektoral yakni mengakui secara terbuka dirinya mantan narapidana dan bukan pelaku kriminal berulang-ulang. Jika tidak mau mengakui dirinya mantan narapidana, maka Ahok harus menunggu 5 tahun setelah masa pembebasannya untuk bisa menjadi peserta kontestasi elektoral.
Bagaimana dengan syarat menjadi calon presiden atau calon wakil presiden? Berbeda dengan syarat menjadi calon kepala daerah atau calon anggota legislatif, ketentuan boleh tidaknya mantan narapidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih tidak mengadopsi secara tegas putusan MK.
Pasal 227 huruf (k) UU Pemilu hanya menyatakan "surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pemah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih" tidak disertai pengecualian yang bersangkutan mau mengakui dirinya mantan narapidana.
Tetapi kemungkinan besar Peraturan KPU terkait syarat calon presiden dan calon wakil presiden tidak akan berbeda dengan syarat bagi calon kepala daerah dan calon anggota legislatif. Dengan demikian Ahok tetap bisa menjadi calon presiden atau calon wakil presiden di Pilpres 2024 karena pendaftaran pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden 2019 sudah ditutup Agustus 2018, atau sebulan sebelum pembebasan bersyarat Ahok.
Salam @yb
Yon Bayu
No comments:
Post a Comment