Infomenia.net -Dalam beberapa tulisan sebelumnya, telah dipaparkan sejumlah tokoh atau nama dari etnis Tionghoa dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tulisan ini menyorot peran masyarakat Tionghoa, terutama tokoh-tokohnya, dalam revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949).
Tulisan ini juga membahas terbentuknya pemerintah Republik Indonesia (RI) serta kiprah para tokoh Tionghoa di dalam lembaga-lembaga pemerintahan yang baru terbentuk. Juga akan dibicarakan afiliasi dan kecenderungan politik dari para tokoh tersebut serta gagasan-gagasan mereka dalam memajukan masyarakat Indonesia.
Sebelum masalah-masalah di atas dibahas, terlebih dahulu akan dibicarakan secara singkat perkembangan kesadaran politik di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa dari awal abad 20 sampai dengan masa pendudukan Jepang (1942-1945)
Periode revolusi kemerdekaan merupakan bagian penting dari sejarah Indonesia yang berisikan kisah perjuangan bangsa di berbagai bidang seperti diplomasi, militer, jurnalisme, sastra, kesehatan, perhubungan dan sebagainya. Perjuangan tersebut terutama ditujukan untuk mempertahankan kemerdekaan, yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945, dari ancaman kolonialisme yang ingin ditegakkan kembali oleh Belanda.
Berbagai komponen bangsa turut menyumbangkan tenaga dalam revolusi kemerdekaan, diantaranya adalah masyarakat Tionghoa. Peran serta mereka di dalam tahap awal mula berdirinya negara ini, menunjukkan bahwa orang Tionghoa, seperti juga kelompok masyarakat lainnya, merasa Indonesia adalah tanah air mereka yang kedaulatannya wajib mereka bela.
Tulisan ini akan menyorot peran masyarakat Tionghoa, terutama tokoh-tokohnya, dalam revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Karangan ini juga akan membahas terbentuknya pemerintah Republik Indonesia (RI) serta kiprah para tokoh Tionghoa di dalam lembaga-lembaga pemerintahan yang baru terbentuk.
Juga akan dibicarakan afiliasi dan kecenderungan politik dari para tokoh tersebut serta gagasan-gagasan mereka dalam memajukan masyarakat Indonesia. Sebelum masalah-masalah di atas dibahas, terlebih dahulu akan dibicarakan secara singkat perkembangan kesadaran politik di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa dari awal abad 20 sampai dengan masa pendudukan Jepang (1942-1945)
Perkembangan Kesadaran Politik Masyarakat Tionghoa
Kesadaran politik di kalangan masyarakat Tionghoa di Jawa mulai tumbuh pada awal abad 20. Pada masa itu paham nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok mulai dianut oleh sebagian orang Tionghoa. Sebagian diantaranya adalah kaum peranakan, memandang dirinya sebagai bagian dari bangsa Tiongkok.
Sebagai wadah dari aspirasi tersebut, kaum Tionghoa mendirikan berbagai organisasi seperti Tiong Hoa Hwee Koan atau THHK (1900), Siang Hwee (1908), dan Soe Po Sia (1908).Gagasan nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok semakin terartikulasi dengan terbitnya koran Sin Po pada tahun 1910.[4] Selain menganjurkan nasionalisme Tiongkok, dalam masalah kewarganegaraan, para pendukung koran ini beranggapan bahwa orang Tionghoa di Hindia Belanda adalah rakyat Tiongkok dan bukan kawula Belanda.
Meski demikian, tidak semua orang Tionghoa adalah pendukung nasionalisme yang berorientasi ke Tiongkok. Mereka itu terutama adalah kaum peranakan yang mendapat pendidikan Belanda. Pada tahun 1928 kelompok ini mendirikan partai yang diberi nama Chung Hwa Hui (CHH). Para pendukung CHH berpendapat bahwa peranakan Tionghoa adalah kawula Belanda dan harus ikut serta dalam pemerintahan untuk membela kepentingan mereka.
Sikap CHH yang pro kepada Belanda mendapat tanggapan dari kaum peranakan yang berorientasi ke Indonesia. Kelompok ini kemudian membangun organisasi bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI) pada tahun 1932. Pemimpin PTI, Liem Koen Hian, menyerukan agar kaum peranakan Tionghoa yang menganut nasionalisme Tiongkok menukar obyek orientasi mereka ke Indonesia dan bekerja untuk kemerdekaan Indonesia.
Dengan demikian, secara garis besar, sebelum kedatangan Jepang pada tahun 1942, ada tiga golongan utama yang berbeda dalam masyarakat Tionghoa, yaitu mereka yang berorientasi ke Tiongkok, Belanda, dan Indonesia.
Masa pendudukan Jepang berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pemerintah pendudukan Jepang menutup seluruh koran yang diterbitkan oleh orang Tionghoa[7] dan melarang orang Tionghoa untuk melakukan kegiatan politik. Sekolah-sekolah berbahasa Belanda juga ditutup dan ini menyebabkan kekuatan kelompok Chung Hwa Hui semakin melemah.
Sementara itu, kelompok yang berorientasi ke Tiongkok, terutama Sin Po, beberapa tokohnya ditangkap dan ada yang melarikan diri. Sedangkan kelompok PTI yang beorientasi nasionalisme Indonesia dibubarkan. Liem Koen Hian sebagai tokoh PTI sempat ditangkap pada masa awal pendudukan sebelum kemudian dibebaskan. Pemerintah pendudukan Jepang menyatukan seluruh organisasi Tionghoa ke dalam satu federasi yang diberi nama Hua Ch’io Tsung Hui (HCTH).[8] Para pemimpin HCTH ditunjuk oleh pemerintah pendudukan Jepang dan bertanggung jawab kepada mereka.
Persiapan Kemerdekaan
Menjelang akhir Perang Dunia II, posisi Jepang di Asia dan Pasifik semakin terdesak. Akibat dari perkembangan situasi ini maka pada bulan Maret 1945 Jepang mendirikan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dalam rangka untuk mendapat dukungan dari rakyat. Di dalam lembaga yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta ini terdapat pula beberapa tokoh Tionghoa.
Diantara para tokoh Tionghoa itu yang paling menonjol adalah Liem Koen Hian dari PTI. Dalam rapat-rapat BPUPKI dia sering mengemukakan pendapatnya yang mendukung secara penuh kemerdekaan Indonesia. Dalam suatu sidang BPUPKI ia mengemukakan bahwa masyarakat Tionghoa di Jawa tidak lagi menganut kebudayaan Tionghoa.[9] Liem menekankan bahwa masyarakat Tionghoa telah lebih menjadi Indonesia daripada Tiongkok.
Meskipun demikian ia mengidentifikasi adanya kebingungan dalam masyarakat Tionghoa tentang posisi mereka karena adanya perubahan situasi, baik nasional maupun internasional. Dalam pandangan Liem, dalam Republik Indonesia yang akan dibentuk nanti, semua orang Tionghoa mesti diakui sebagai warga negara Indonesia.
Tokoh Tionghoa kedua yang duduk di dalam BPUPKI adalah Oei Tjong Hauw yang berasal dari CHH.
Tentang masalah kewarganegaraan, Oei menganjurkan agar pemerintah Indonesia yang akan datang menyatakan semua orang Tionghoa di Indonesia sebagai warga negara Tiongkok. Ia mengemukakan bahwa setelah pendudukan Jepang maka Undang-Undang Kekaulaan Belanda tidak berlaku lagi.
Maka banyak orang Tionghoa peranakan yang dengan sendirinya menjadi warga negara Tiongkok. Meskipun demikian Oei berjanji bahwa ia bersama orang-orang Tionghoa lainnya akan bekerja semaksimal mungkin untuk membantu rakyat Indonesia membentuk negara merdeka. Komitmen ini dilatarbelakangi oleh dua hal, yaitu pertama: Tiongkok juga sedang berjuang untuk mencapai kemerdekaannya dan kedua: orang Tionghoa berhutang budi kepada bangsa dan tanah air Indonesia yang telah menyediakan mata pencaharian bagi mereka.
Tokoh-tokoh Tionghoa berikutnya yang menjadi anggota BPUPKI adalah mereka yang pada masa kolonial Hindia Belanda tidak tergabung dalam tiga aliran politik utama. Tokoh yang pertama adalah Oey Tiang Tjoei. Ia menganut pandangan bahwa meskipun kaum peranakan memiliki darah campuran, namun hal itu tidak membuat mereka menjadi orang Indonesia.
Menurut Oey, dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan datang kewarganegaraan Tionghoa sebaiknya diberi pertimbangan yang adil. Secara tidak langsung ia ingin mengatakan bahwa orang Tionghoa sebaiknya dinyatakan sebagai warga negara Tiongkok.
Oey tidak melihat adanya pertentangan antara menjadi warga negara Tiongkok dan menjadi anggota masyarakat Indonesia. Hal ini karena dalam pandangan Oey, orang Jepang, Indonesia, dan Tionghoa adalah bangsa Asia dan karena itu perlu untuk bekerja sama dalam mewujudkan Asia Raya.
Selain mereka bertiga, masih ada orang Tionghoa di dalam BPUPKI, yakni Tan Eng Hoa dan Yap Tjwan Bing. Tidak banyak keterangan yang diperoleh mengenai kedua tokoh ini. Apa yang diketahui tentang Tan Eng Hoa adalah bahwa dia seorang sarjana hukum. Sedangkan Yap[10] adalah seorang apoteker lulusan Belanda namun memiliki hubungan yang erat dengan kaum nasionalis Indonesia.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dia bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Berdasarkan fakta-fakta ini dapat diperkirakan bahwa ia memiliki pandangan yang tidak terlalu berbeda dengan Liem Koen Hian.
Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam akhir sidang I BPUPKI, Soekarno menyampaikan pokok-pokok pikirannya tentang Pancasila yang kelak akan menjadi dasar negara. Rancangan Undang-Undang Dasar Republik dengan batas wilayah bekas teritori Hindia Belanda berhasil ditetapkan pada tanggal 22 Juni 1945.
BPUPKI mengakhiri tugasnya dengan merancang konstitusi pertama Indonesia yang menghendaki sebuah republik kesatuan dengan jabatan kepresidenan yang kuat. Sebagai gantinya dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Peresmian pembentukan panitia ini dilaksanakan pada tanggal 7 Agustus 1945, sesuai dengan keputusan Jendral Besar Terauchi, Panglima Tentara Umum Selatan, yang membawahi semua tentara Jepang di Asia Tenggara.
Anggota PPKI kebanyakan diambil dari bekas anggota BPUPKI. Dari keseluruhan anggota PPKI, 12 orang adalah wakil dari Jawa, 3 wakil dari Sumatra, 2 dari Sulawesi, 1 dari Kalimantan, Sunda Kecil, Maluku, dan wakil masyarakat Tionghoa. Sebagai wakil masyarakat Tionghoa, sekaligus golongan minoritas lainnya (Arab dan Indo), di dalam PPKI adalah Yap Tjwan Bing.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang telah menyerah tanpa syarat dan pada tanggal 17 Agustus 1945 atas desakan para pemuda, kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan.
Komite Nasional Indonesia Pusat
Segera setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, pemerintah pusat dibentuk di Jakarta pada akhir Agustus 1945. Dalam pemerintahan baru tersebut Sukarno diangkat sebagai presiden (1945-1967) dan Hatta ditunjuk sebagai wakil presiden (1945-1956).
Kepercayaan diberikan kepada kedua tokoh pergerakan tersebut karena para tokoh politik Indonesia pada umumnya meyakini bahwa hanya merekalah yang dapat berurusan dengan pihak Jepang yang pada saat itu secara de facto masih memiliki kekuatan militer yang besar.Karena Pemilihan Umum belum dapat dilaksanakan maka untuk membantu presiden didirikan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Komite-komite nasional yang serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan karesidenan. Para anggota KNIP yang pertama dilantik pada tanggal 29 Agustus 1945. Anggota inti dari KNIP terdiri dari 25 orang. Kebanyakan dari mereka sebelumnya merupakan anggota PPKI yang ditunjuk oleh Jepang. Sebagai tambahan, Presiden Sukarno menunjuk 110 orang sebagai anggota KNIP. Dalam bulan-bulan selanjutnya anggota KNIP diperluas menjadi hampir 200 orang.
Sidang KNIP pertama kali diadakan pada tanggal 16 Oktober 1945 di Jakarta. Berlaku sebagai pimpinan sidang adalah Kasman Singodimedjo. KNIP dan badan pekerjanya sejak dari awal memang telah mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat Tionghoa. Ketika KNIP untuk pertama kali disusun, terdapat dua anggota yang mewakili masyarakat Tionghoa, yaitu Liem Koen Hian dan Yap Tjwan Bing.
Perjuangan melalui jalur diplomasi akhirnya mengahasilkan perjanjian Linggarjati yang diselenggarakan pada 22 Oktober sampai 15 November 1946. Di dalam perjanjian tersebut, pihak Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia di Pulau Sumatra dan Jawa. Kedua belah pihak juga menyepakati untuk membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 1 Januari 1949.
Di dalam RIS akan diikut sertakan RI dan beberapa negara bagian lainnya. Juga disetujui untuk membentuk suatu uni Indonesia-Belanda, yang di dalamnya terdiri dari RIS dan kerajaan Belanda. Uni ini akan secara resmi dipimpin oleh Ratu Belanda.
Agar perjanjian Linggarjati diterima secara resmi oleh Indonesia diperlukan persetujuan dari KNIP. Untuk menjamin diterimanya perjanjian tersebut oleh KNIP, pada tanggal 29 Desember 1946 Sukarno mengeluarkan dekrit yang isinya menambah jumlah anggota KNIP dari 200 menjadi 515 orang.
Pada awalnya ada penolakan terhadap dekrit ini dari kalangan anggota KNIP. Namun setelah Hatta mengancam bahwa Soekarno dan dirinya akan meletakkan jabatan jika dekrit itu ditolak, akhirnya dekrit tersebut diterima.
Di dalam KNIP ada 7 tokoh Tionghoa yang mewakili masyarakat Tionghoa. Diantara mereka 4 berasal dari Jawa Timur, yaitu Yap Tjwan Bing (Madiun), Oey Hway Kiem (Bondowoso), Tan Boen An (Kediri), dan Siauw Giok Tjhan (Malang). Sedangkan 3 wakil lainnya berasal dari Jakarta, yaitu: Liem Koen Hian, Inyo Beng Goat, dan Tan Po Goan.
Selain itu masih ada 3 orang Tionghoa yang mewakili partai politik. Mereka adalah Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat yang mewakili Partai Sosialis (PS) dan Lauw Khing Hoo yang mewakili Partai Komunis Indonesia (PKI). Menurut Siauw Giok Tjhan, dari daftar nama tokoh-tokoh Tionghoa yang tergabung di dalam KNIP dapat disimpulkan bahwa mereka adalah orang-orang yang telah lama ikut aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Selain tiga orang terakhir yang secara jelas tergabung ke dalam partai politik, paling tidak ada tiga tokoh Tionghoa lainnya yang menjadi anggota KNIP yang diketahui merupakan simpatisan atau anggota partai politik tertentu. Mereka adalah Yap Tjwan Bing dan Liem Koen Hian yang merupakan pendukung PNI dan Siauw Giok Tjhan yang merupakan pendukung PS. Khusus mengenai Siauw Giok Tjhan, ia diketahui telah masuk ke dalam Partai Sosialis, khususnya ke dalam kelompok Amir Sjarifuddin, pada akhir bulan Desember 1945.
Tokoh-tokoh Tionghoa Pada Masa Revolusi
Dalam masa revolusi kemerdekaan, masyarakat Tionghoa sebagai kelompok minoritas berada dalam kondisi terjepit antara pihak Belanda dan Indonesia. Banyak orang Tionghoa yang berada di wilayah kekuasaan RI menaruh simpati kepada Indonesia.
Namun sebaliknya, orang Tionghoa yang berada di wilayah Belanda, sulit untuk menunjukkan dukungan seperti yang ditunjukkan orang Tionghoa di wilayah kekuasaan RI. Pada akhirnya meskipun di dalam hati mereka mendukung Indonesia namun mereka berusaha bersikap netral, walau ada juga sebagian yang terang-terangan bersikap pro-Belanda.
Sementara di daerah yang tidak dikuasai oleh RI maupun Belanda, banyak orang Tionghoa yang menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh anggota laskar, para pemuda revolusioner, maupun para penjahat yang berkedok sebagai pejuang. Dengan tuduhan sebagai kaki tangan Belanda, mereka menjadi korban pembunuhan, perampokan, penjarahan, dan pemerkosaan. Peristiwa tindak kekerasan terhadap orang Tionghoa yang mendapat liputan luas antara lain terjadi di Tangerang, Kebumen, dan Malang.
Peristiwa Tangerang mendapat kritikan keras dari koran Sin Po yang telah terbit kembali menyusul berakhirnya pendudukan Jepang. Wartawan terkemuka koran ini yaitu Kwee Kek Beng melakukan lawatan langsung ke Tangerang dan melihat penderitaan orang Tionghoa di sana. Kwee menunjukkan simpati yang mendalam terhadap orang Tionghoa dan beriskap sangat kritis terhadap pihak Indonesia.
Sikap kritisnya itu bercampur dengan kecenderungannya yang memang anti republik. Apa yang kurang dipertimbangkan oleh Kwee, sebenarnya para pemimpin republik berusaha keras untuk mencegah kerusuhan rasial walaupun upaya tersebut kadang-kadang tidak berhasil.
Para bekas anggota PTI dan tokoh peranakan seperti Siauw Giok Tjhan dan Dr.Tjoa Sek Ien justru mengecam dan menyalahkan Belanda atas terjadinya peristiwa Tangerang. Dengan kata lain mereka tidak mau menyalahkan pihak RI dalam peristiwa tersebut. Sikap tegas dalam memihak RI juga ditunjukkan oleh Liem Koen Hian.
Pada masa revolusi Liem bersama Rahman Tamin, seorang pengusaha pribumi, melakukan kegiatan penyelundupan senjata untuk membantu para pejuang Indonesia.
Pada bulan November 1947, Liem dipercaya oleh pemerintah RI untuk menjadi anggota delegasi dalam perjanjian Renville. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Amir Sjarifuddin yang saat itu masih dianggap sebagai orang Partai Sosialis namun di kemudian hari mengaku dirinya telah menjadi komunis sejak lama.
Pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun yang gagal banyak orang komunis yang terbunuh dan tertangkap. Diantara mereka yang tertangkap adalah Amir Sjarifuddin yang pernah menjabat sebagai menteri dalam Kabinet Sjahrir dan kemudian pernah pula menjadi Perdana Menteri.
Ada bekas wakil Tionghoa di dalam KNIP yang terlibat di dalam peristiwa Madiun, yaitu Oey Gee Hwat. Ia berhasil ditangkap oleh TNI dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Sebenarnya Oey Gee Hwat berasal dari Partai Sosialis, namun kemungkinan ia telah beralih menjadi anggota PKI sebelum terjadinya peristiwa Madiun.
Dalam masa revolusi ada pula tokoh-tokoh Tionghoa yang menjabat sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan republik. Dalam kabinet yang dibentuk oleh Amir Sjarifuddin pada tanggal 3 Juli 1947 Siauw Giok Tjhan ditunjuk sebagai menteri urusan minoritas menggantikan Tan Po Goan. Tan dipandang oleh Amir secara politik lebih dekat kepada Sjahrir.
Ketika itu telah terjadi perpecahan di dalam tubuh Partai Sosialis antara kubu Sjahrir dan kelompok Amir. Pada awalnya Siauw menolak untuk menjadi menteri, tetapi akhirnya ia mau menerimanya setelah didesak oleh Amir dan Tan Ling Djie.[18] Menurut Siauw, alasan lain dari kesediaannya menjadi menteri adalah untuk memenuhi janji pemerintah yang tercantum di dalam Manifesto 1 November 1945,
yaitu menjadikan semua peranakan Tionghoa, Arab, dan Eropa yang lahir di Indonesia sebagai warga negara dan patriot Indonesia dalam waktu sesingkat mungkin.
Kesimpulan
Masyarakat Tionghoa di Indonesia adalah kelompok masyarakat yang memiliki pandangan heterogen. Aspirasi mereka yang diwakili oleh para tokoh-tokohnya menunjukkan bahwa orang Tionghoa telah memiliki kesadaran politik sejak awal abad ke-20.
Kebangkitan kaum pergerakan nasional Indonesia terjadi dalam periode yang sama dengan munculnya kesadaran politik di kalangan orang Tionghoa. Meskipun masyarakat Tionghoa memiliki aspirasi politik yang berbeda-beda, namun ada satu ciri kesamaan di antara mereka, yaitu kesadaran sebagai kelompok minoritas yang hidup di tengah suatu bangsa yang sedang membentuk jati dirinya.
Berbagai aktivitas tokoh-tokoh Tionghoa dalam masa revolusi kemerdekaan menunjukkan bahwa golongan Tionghoa bukanlah kelompok yang eksklusif dan terpisah dari bangsa Indonesia. Mesekipun selama masa kolonial dan pendudukan Jepang, orang Tionghoa diperlakukan sebagai golongan masyarakat tersendiri yang berbeda dengan orang pribumi, namun banyak diantara tokoh-tokoh Tionghoa yang menyuarakan aspirasi masyarakatnya yang merasa sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia.
Hal ini membuktikan bahwa sumbangsih masyarakat Tionghoa dalam masa revolusi tidak kalah pentingnya dari sumbangsih kelompok masyarakat lainnya dalam proses pembentukan negara dan bangsa Indonesia.
Penulis adalah Pengajar Departemen Sejarah FIB-UI dan kandidat Ph.D Sejarah di Universitas Leiden.
No comments:
Post a Comment