A story with tens of thousands of articles.

A story with tens of thousands of articles.
life and death, blessing and cursing, from the main character in the hands of readers.

Sunday, March 3, 2019

Ini Model Kampanye Jitu Jakowi-Ma’ruf

Ini Model Kampanye Jitu Jakowi-Ma’ruf

 Asaaro Lahagu . 6 hours ago . 7 min read .  0
Ini Model Kampanye Jitu Jakowi-Ma’ruf

Berangkat dari kekalahan Ahok di Jakarta, Djarot di Sumatera Utara, saya semakin yakin bahwa kampanye di sosial media di Indonesia tidak selalu efektif. Mungkin saja di negara lain, kampanye di sosial media dengan big data, sangat efektif. Namun di Indonesia sampai 2019 ini, hal itu tidak sepenuhnya efektif.
Perang di media cukup berpengaruh pada tingkatan tertentu. Namun jika dipakai secara terus-menerus, tidak lagi efektif untuk menambah suara di pemilu 2019. Di Indonesia, hanya sekitar 40 persen pemilih yang terkoneksi dengan media sosial termasuk aplikasi berantai seperti WhatsApp, Line, Telegram, facebook, Twitter. Sisanya sebanyak 60 persen, tidak tersentuh sama sekali.
Jika seseorang yang aktif di sosial media, sudah memutuskan paslon yang dia pilih, maka pilihan yang bersangkutan sangat sulit diubah. Hanya gempa bumi besar, tekanan disertai kekerasan yang bisa mengubah preferensi pemilih di sosial media.
Sebagai contoh saya sebut teman saya di facebook Mustika Ranto Gulo. Teman ini setiap hari statusnya selalu memframming petahana sebagai penipu. Sampai kiamatpun teman saya ini tidak akan merubah pilihan untuk mendukung Prabowo-Sandi apalagi dia juga masuk simpatisan Gerinda.
Hal yang sama dengan saya. Kendatipun Mustika Ranto Gulo sampai berbusa-busa mulutnya menjelekkan petahana dan membuat logika sehebat apapun, dia tidak akan bisa merubah pilihan saya untuk mendukung Jokowi-Ma’ruf. Inilah contoh yang menunjukkan bahwa perang di udara sudah mencapai titik jenuh dan hanya sekedar riuh.
Di tempat kerja, saya punya teman-teman yang jumlahnya ratusan orang. Namun teman-teman ini rata-rata sudah sarjana dan berpendikan tinggi. Tentu mereka sudah punya preferensi calon yang hendak dipilih. Banyak diantaranya memilih Jokowi. Namun ada juga yang bersimpati kepada Prabowo. Mereka ini sulit diubah pilihannya karena pola-pikir mereka sudah sangat logis. Kita hanya bisa beragumen, meluruskan jika ada isu-isu polemik atau serangan hoax yang tidak benar.
Saya setuju apa yang mulai dilakukan oleh Rumah Kerja Relawan (Rumker 01) menerjunkan organ relawan yang militant ‘mengepung dan menggempur’ tiga daerah penting pemenangan pasangan Jokowi-Ma’aruf yaitu di Jakarta, Banten dan Jawa Barat mulai awal Maret ini.
Mulai Senin besok, 4 Maret 2019 sampai hari pencoblosan, para relawan Rumker 01 yang militan turun ke lapangan, terjun ke bawah, ke rumah-rumah. Ini model kampanye yang cukup efektif dan meyakinkan untuk memenangkan Jokowi. Ini memang yang harus dilakukan.
Ketika para relawan benar-benar turun ke bawah dengan militansi yang tinggi, ulet dan pantang menyerah, maka hoaks yang terus-menerus menerpa Jokowi bisa diminimalisir. Tentu saja semua hoax yang sudah menyebar massif, tidak bisa dihilangkan seluruhnya. Namun dengan penjelasan dan pelurusan yang gigih terhadap masyarakat sederhana dan bawah, maka hoax bisa diluruskan dan dikurangi. Dan ini menurut saya sudah sangat hebat.
Di akar rumput sana, ada banyak kakek-kakek, nenek-nenek, ibu-ibu, bapak-bapak dan tante-tante yang tidak peduli dengan media sosial. Mereka mungkin punya handphone dengan aplikasi yang bisa membuka internet. Tetapi karena gagap mensearch google, youtube belum lagi persoalan pulsa internet, akhirnya mereka bersikap acuh terhadap sosial media.
Tentu orang akan bertanya-tanya apakah saya hanya berkoar-koar di media sosial dan membuat opini di Seword, di facebook, lalu tugas saya selesai? Tentu saja tidak. Selain saya sebagai warga biasa berusaha membuat narasi atau artikel sebagai bentuk dukungan kepada Jokowi-Ma’ruf, saya juga turun ke bawah setiap Sabtu-Minggu.
Pada hari Sabtu-Minggu, bukan memuji diri, saya menyisikan waktu setengah hari di kedua pasar tradisional di Jakarta Barat. Sambil belanja dan kelililing-keliling, saya memancing emak-emak dan bapak-bapak penjual ikan asin, penjual sayur, penjual tahu-tempe, penjual kelapa, penjual ubi, penjual ikan pepes, penjual daging ayam, penjual ikan segar, penjual bakso, penjual kue, penjual pakaian dalam, penjual pisang, penjual kira-kira dan seterusnya dengan pertanyaan: “Kira-kira siapa paslon yang kita pilih?”
Saya bertanya kira-kira siapa paslon yang kita pilih agar saya seolah-olah senasib dengan mereka. Dari situ kami akan berbincang-bincang, bercerita soal prestasi, jejak rekam para paslon dan potensi kemajuan ke depan, termasuk menyampaikan data jika ada yang sudah termakan hoax.
Akhirnya dengan mudah saya bisa meyakinkan mereka tanpa menggurui bahwa paslon nomor satu yang terbaik. Tentu saja hal itu tanpa mereka sadari. Mereka tentu tidak begitu curiga kepada saya karena sudah bertahun-tahun bertemu dan belanja di tempat mereka.
Esoknya hari Minggu, saya pergi ke pasar berikutnya dan melakukan hal yang sama. Jika saya bisa berbicara terhadap 7-12 orang di masing-masing pasar itu, dan mereka menangkap apa yang saya bicarakan, maka saya yakin mereka juga akan bisa bercerita di tengah keluarga mereka dan kepada tetangga mereka. Artinya mereka juga akan berbicara hal yang sama dan bersimpati dengan paslon nomor satu. Model kampanye berbungkus cerita itu, saya lakukan secara terus-menerus sejak Oktober tahun lalu. Jadi bukan dadakan atau baru akan, akan.
Ketika ada teman mengajak saya ketemuan di mall atau di hotel di Jakarta untuk ramai-ramai mendeklarasikan Jokowi, saya sering menolaknya. Jika anda sudah mendukung Jokowi, ngapain harus bertemu lagi di mall dan membuang waktu dan duit di sana? Itu hanya sekedar riuh.
Turunlah ke pasar. Kunjungi tetangga, bicaralah tentang prestasi Jokowi. Bicaralah bahwa Jokowi itu orang baik, tidak korupsi, sederhana, tidak takut dan cara kerjanya Indonesia banget. Bicaralah nasib NKRI, bicara nasib Suriah yang sudah diadu domba penganut khilafah. Nasib Indonesia akan juga seperti itu.
Apakah model kampanye di atas sudah cukup jitu? Sama sekali tidak. Ketika ada jalur untuk bisa berkomunikasi dengan orang-orang di belakang The Operator Istana, saya terus-menerus menyampaikan bahwa tidak perlu ada himbauan lagi terkait larangan kegiatan politik di Masjid. Ini tidak efektif dan sia-sia. Mengapa? Karena lawan sudah membuat Masjid sekarang sebagai basis kampanye utama mereka.
Lalu apa yang dilakukan oleh kubu Jokowi-Ma’ruf? Dengan tulang-punggung warga NU, lakukan kegiatan politik di Masjid dengan dalil doa, dengan dalil munajat untuk pemilu yang demokratis 17 April 2019 mendatang.
Kumpulkan orang-orang di Masjid, jadikanlah Masjid sebagai basis kampanye dengan dalil kegiatan keagamaan juga. Mintalah para Ustad berceramah di Masjid menyebarkan prestasi pemerintah. Bersainglah dengan kubu Prabowo-Sandi di Masjid. Bukankah kegiatan keagamaan tidak dilarang? Petakanlah Masjid yang sudah mendukung Jokowi, petakan Masjid yang mendukung lawan. Rebut Masjid dari tangan mereka yang selama ini telah memperoleh keuntungan dari kegiatan politik di tempat ibadah.
Model kampanye Jokowi yang selalu turun ke bawah, bertemu dengan masyarakat secara terus-menerus sudah cukup hebat. Dari dua debat juga, performa Jokowi sudah sangat baik. Namun hal itu tidak cukup. Tim kampanye dari TKN harus mengorganisir untuk berkampanye di Masjid dengan dalil kegiatan keagamaan.
Saya yakin trend saat ini dan ke depan, model kampanye di Masjid di Indonesia akan semakin diperhitungkan. Ada 800.000 Masjid dan Musholla di Indonesia. Jika Jokowi menguasai setengah dan rerata ada 250 orang di setiap Masjidnya, maka 400.000 x 250 = 100.000.000 (seratus juta orang) yang memilih Jokowi. Dengan jumlah sebesar ini, maka Jokowi dipastikan menang.
Sebaliknya jika kubu Prabowo-Sandi yang lebih berhasil merebut setengah Masjid dan Musholla, lalu setiap hari Selasa ada cuci otak, kemudian puncaknya pada tanggal 16 April berdoa bersama dengan dalil munajat, lalu esoknya pagi bergerak bersama di TPS-TPS, maka Prabowo dengan raihan 100 juta suara, dipastikan menang melawan Jokowi.
Maka model kampanye jitu menurut saya ada tiga, yakni petama, para relawan yang diorganisir oleh TKN turun langsung secara door to door atau dari pintu- ke pintu secara konsisten. Kedua, Jokowi harus terus blusukan di berbagai pelosok Jawa Barat, Banten, DKI Jakarta dan Jawa Tengah plus Jawa Timur. Ketiga, bergerak dan memanfaatkan Masjid sebagai basis kampanye dengan dalil doa dan munajat.
Di antara ketiga model itu, model kampanye dengan menguasai Masjid yang lebih jitu. Saya yakin jika itu dilakukan, maka kemenangan Jokowi tak terbendung. Begitulah kura-kura.
Salam Seword,

Asaaro Lahagu
Asaaro Lahagu

Asaaro Lahagu

Warga biasa, tinggal di Jakarta. E-mail: lahagu@gmail.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...