Lagi, Angin Segar buat Ahok?
Ketika nama-nama capres dan cawapres secara resmi didaftarkan ke KPU pada Jumat 10 Agustus 2019 yang lalu, Ahok yang sedang mendekam di rumah tahanan Markas Brimob Kelapadua, mungkin tertawa terpingkal-pingkal. Penyebabnya tentu nama salah seorang cawapres yang ujug-ujug muncul: Sandiaga Uno.
Sementara pada edisi Jumat itu, Koran Tempo mengomentari pencapresan tersebut sebagai "akrobat". Tidak salah. Politik di negeri ini memang kadang mirip dagelan atau sirkus. Money talk. Kata seseorang, entah apa maksudnya.
Lalu apa kaitan pencapresan ini dengan Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama yang sedang menanti-nanti hari kebebasannya dari sel? Sebagaimana kita ketahui, pertengahan tahun 2017 lalu mantan gubernur DKI Jakarta ini dijebloskan ke dalam tahanan setelah divonis dua tahun atas dakwaan menista agama.
Hari naas Ahok ini dimulai pada September 2016 ketika berkunjung ke Pulau Seribu, sebuah kabupaten di DKI Jakarta. Sebagaimana biasa, acara kunjungan dan pidatonya di hadapan warga dan pejabat setempat diunggah ke media sosial.
Namun seorang bernama Buni Yani mengedit pidato itu dan mengunggah video yang sudah diedit itu ke medsos dibumbui kalimat provokatif bahwa Ahok menista agama Islam dalam pidatonya tersebut.
Heboh pun terjadi. Kehebohan ini dengan jitu dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang selama ini gencar menuntut mantan bupati Belitung Timur tersebut supaya pergi dari Balai Kota. Banyak pihak yang tidak sudi jika DKI Jakarta dipimpin oleh seorang gubernur yang beragama non-muslim semacam Ahok.
Sejumlah ormas agama, dimotori FPI, tanpa henti melakukan aksi demo untuk menuntut Ahok turun dari jabatannya. Dan sejauh itu aksi mereka memang tidak punya dasar pijakan yang jelas dan kuat.
Hukum tatanegara dan UUD 1945 tidak menyoal siapa pun, orang yang beragama apa pun untuk menjadi pejabat di negeri ini. Maka dipastikan demo-demo yang membawa-bawa sentimen agama itu tidak akan berdampak.
Namun sial bagi Ahok, tuduhan penistaan agama berdasarkan video yang sudah diedit itu menyatukan banyak orang dari berbagai pelosok Tanah Air untuk ikut mendemonya. Jika dulu hanya warga di sekitaran DKI Jakarta yang merasa wajib menuntut Ahok mundur dari jabatan gubernur DKI, kini massa dari berbagai daerah mendesak Ahok diadili dan dihukum atas penistaan yang dia lakukan itu.
Akhirnya, Ahok tidak hanya kalah dalam Pilkada DKI 2017 yang penuh kontroversi, dan diboncengi isu agama itu. Belakangan, pengadilan juga memutuskan dirinya bersalah dan dihukum dua tahun penjara.
Selama Oktober 2016 hingga pertengahan tahun 2017, hampir tiap hari--terutama hari Jumat--berlangsung aksi demo untuk mendesak Ahok diseret ke pengadilan. Namun yang lebih fenomenal adalah demo pada hari Jumat 2 Desember 2016, yang kemudian terkenal dengan "212".
Aksi demo ini diklaim dihadiri oleh 7 juta massa dari berbagai kawasan Indonesia, yang pusatnya di Lapangan Monas, Jakarta. Di berbagai daerah pun aksi serupa terjadi, yang dipimpin oleh kepala daerah setempat.
Namun tidak semua orang berpendapat bahwa Ahok bersalah. Ada banyak tokoh agama yang menilai bahwa pidato (asli) Ahok tersebut tidak memiliki unsur penistaan agama, sebagaimana dituduhkan pihak-pihak yang membenci dan mendemonya.
Namun karena pergerakan massa sudah sedemikian luas, kasus ini pun dibawa ke pengadilan. Massa tidak mau tahu: Ahok harus dihukum! Maka vonis pun dijatuhkan, dua tahun penjara.
Gusti ora sare, Allah tidak tidur. Kata orang-orang yang merasa Ahok hanya menjadi korban penzoliman massa. Belakangan, banyak orang yang dulu "galak" mendemo Ahok, malah dijebloskan ke penjara. Di antaranya oknum-oknum pejabat yang diciduk karena kasus korupsi. Zumi Zola, gubenur Jambi yang sangat bersemangat sewaktu ikut mendemo Ahok di Monas (2 Desember 2016), pada 9/4/2018 ditahan KPK dalam kasus korupsi.
Kemudian Pangonal Harahap, bupati Labuhanbatu, Sumatera Utara, terjerat operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Juli 2018 lalu. Tak lama kemudian, Zainudin Hasan, bupati Lampung Selatan, tekena OTT, kini dijebloskan di tahanan KPK.
Yang lebih anyar adalah seorang tua bernama Haji Tarlani di Tangerang yang pernah membuat sayembara "bunuh Ahok" dengan imbalan Rp 1 miliar, beberapa hari lalu diciduk polisi karena ternyata di rumahnya dia memproduksi pil PCC yang tergolong narkotika. Ada yang mengatakan mereka-mereka itu kena kualat Ahok.
KH Ma'ruf Amin, yang kini jadi cawapres Jokowi pun, dulu sempat "rame" dengan Ahok di tengah panasnya atmosfir proses Pilkada DKI 2017. Ketika itu, bahkan Ahok mengancam akan mengadukan ketua umum MUI tersebut ke pihak yang berwajib. Tapi semua pihak berusaha meredam Ahok supaya tidak memperpanjang masalah. Dan Ahok akhirnya minta maaf.
Entah apa yang menjadi pokok permasalahan kedua belah pihak waktu itu. Namun kini dengan berstatus cawapres, kasus-kasus yang terjadi di masa lalu bisa jadi akan diungkapkan pihak-pihak lawan.
Nah, apakah kasus yang berkaitan dengan Ahok - Ma'ruf dulu itu akan diviralkan oleh rival dalam rangka menjatuhkan? Bisa jadi ini merupakan angin segar buat Ahok karena banyak orang akhirnya mengetahui kejadian sebenarnya.
No comments:
Post a Comment