A story with tens of thousands of articles.

A story with tens of thousands of articles.
life and death, blessing and cursing, from the main character in the hands of readers.

Monday, April 6, 2020

Ini Kisahku Mendampingi Dan Menyaksikan Betapa Indahnya Kematian Papaku

Jemima Mulyandari
Beberapa tahun terakhir ini kondisi fisik Papaku memang terus merosot dimakan usia. Keluar masuk rumah sakit dijalani Papa dengan penuh ketabahan. Setabah itu jugalah Mama, adik dan iparku merawat Papa. Aku yang tinggal beda pulau dengan Papa jadi terus berdoa pada Tuhan minta diberi kesempatan untuk bisa menjenguk dan merawat Papa.
Puji Tuhan doaku dikabulkan Tuhan. Dua kali berturut-turut Papa masuk rumah sakit menjelang akhir hidupnya, Tuhan memberiku kesempatan untuk bisa menjaga dan melayani Papa di rumah sakit. Aku bahkan menggenggam tangan Papa sampai tarikan nafas terakhirnya.
Lewat pengalaman mendampingi proses Papa menerima kematiannya inilah, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri betapa indahnya kematian Papa. Supaya artikel ini tidak terlalu panjang, saya akan fokuskan di pengalaman terakhir Papa masuk rumah sakit sampai akhirnya dinyatakan meninggal pada hari Sabtu, 4 April 2020 pukul 02.52 WIB.
Rabu malam, 1 April 2020, Papa kami bawa ke IGD karena tubuhnya makin lemah. Hari-hari di rumah sakit kami lalui dengan banyak cerita. Beberapa kali Papa bertanya padaku tentang kedua orang tuanya yang sudah lama meninggal. Papa juga menanyakan kapan kakak laki-lakinya datang. Padahal kakak Papa ini sudah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu.
Saat itu aku jadi berpikir jika sampai Papa meninggal, aku tahu Papa akan berkumpul dengan keluarga yang sangat dicintainya. Ada damai sejahtera dalam hatiku saat aku menjawab semua pertanyaan Papa tadi, sekalipun di sisi lain aku juga tak mau kehilangan Papa.
Keadaan jadi mencekam saat Papa berkata ada 2 orang masuk ke kamar kami di rumah sakit. Padahal saat itu tidak ada siapa-siapa selain kami berdua di dalam kamar.
Sekalipun wajah Papa tenang sama sekali tidak ada ketakutan. Jujur saya yang panik mendengar Papa bicara tentang orang asing yang tidak dikenal dan tak bisa saya lihat dengan mata jasmani saya. Saat itu saya langsung mengajak Papa berdoa mengusir segala roh-roh jahat yang mau mengganggu kami. Saya juga mengajak Papa ngobrol tentang hal-hal lain yang menggembirakan sambil saya putarkan lagu-lagu rohani dari HP saya.
Jumat malam, 3 April 2020 pukul 20.00 WIB adalah hari yang takkan pernah aku lupakan seumur hidupku. Pada jam itu aku melihat cara Papa menarik napas beda dari biasanya. Detak jantung Papa stabil seperti biasa. Tapi tarikan napas Papa lebih kuat dari sebelumnya.
Aku langsung bertanya apa Papa sesak napas??? Dengan tenang Papa menjawab tidak.
Ini jelas aneh. Tidak sesak napas tapi cara bernapasnya beda dari biasanya. Papa memang tidak tersengal-sengal, tapi kenapa beda cara tarik napasnya???
Daripada kepikiran, aku langsung keluar kamar menemui suster jaga. Dua suster langsung ke kamar untuk mengecek keadaan Papa. Langkah pertama cek gula darah. Puji Tuhan gula darah Papa normal. Aku lega.
Lanjut cek tekanan darah. Tekanan darah Papa cuma 80/50. Anehnya Papa mengaku tidak pusing, tidak sesak napas. Semua baik-baik saja. Papa bahkan bisa menjawab semua pertanyaan suster dengan jelas.
Dua suster tadi memastikan kondisi Papa sudah dicek semuanya. Mereka akhirnya memutuskan memasangi alat pada tubuh Papa yang bisa merekam dan menunjukkan hasil tekanan darah, denyut nadi dan kadar oksigen dalam tubuh Papa.
Dari alat itu ketahuan jika tekanan darah Papa naik turun tidak stabil. Dalam waktu singkat, tekanan darah 80/50 tadi berubah menjadi 128/60 lalu terus turun bermain di angka 90 per sekian dan 100 per sekian.
Suster langsung menghubungi dokter Papa (dokter Gatot) agar bisa segera datang ke rumah sakit memeriksa Papa. Kebetulan dokter Gatot memang sudah sampai di parkiran rumah sakit. Beliau langsung mengecek kondisi Papa. Perintah dokter Gatot cuma 1. “Naikkan oksigen dari 4 ke 6!”
Jujur saat itu aku mulai resah melihat kondisi Papa. Aku teringat pada film ER (Emergency Room) yang dulu sering aku tonton di TV. Dalam kepanikan, adik perempuanku menghubungi bapak dan ibu pendeta yang menggembalakan orang tuaku selama ini.
Tak lama kemudian bapak dan ibu pendeta datang menjenguk dan mendoakan Papa. Saat itu Papa masih sadar tapi sudah mulai susah bicara. “Yesus” dan “Haleluya” adalah dua kata yang bisa diucapkan Papa mengikuti doa bapak pendeta.
Saat bapak dan ibu pendeta sudah pulang keluar kamar, Papa baru bisa mengucapkan, “Kamsia Pak Wi.” Aku masih sempat mengajak Papa becanda. Aku bilang, “Yaaahh. Papa telat ngomongnya. Pak Wi dan Bu Wi barusan sudah pulang. Tapi ngga apa. Mereka tahu Papa sangat berterima kasih sudah dikunjungi dan didoakan.
Papa menjawab lirih, “Iya.”
Setelah moment itu waktu terasa berjalan sangat lambat bagiku. Papa yang sudah berhari-hari lemas cuma memejamkan mata, kali itu bangun buka mata melihat ke seluruh penjuru kamar. Aku tahu mata Papa sedang melihat sesuatu sekalipun aku tidak bisa mengetahui sesuatu itu apa.
Anehnya kali itu aku tidak takut seperti yang sebelumnya. Mataku ikut menjelajah ke setiap sudut kamar mengikuti arah mata Papa. Semua baik-baik saja. Tak ada siapa-siapa di situ selain kami berdua. Hatiku juga damai tak ada perasaan aneh yang bagaimana.
Akhirnya aku bertanya, “Papa memangnya melihat apa??? Dengan santai Papa menjawab di luar ada orang baris melangkah berderap. Prok prok prok kata Papa.
Saat itu pikiranku langsung teringat pada sebuah lagu sekolah minggu yang sebaris liriknya berbunyi “Jika nanti orang suci berbaris masuk ke surga.”
Aku spontan berkata pada Papa, “Waaahh… Papa dijemput pasukan ya?” Papa menjawab, “Iya. Dua orang masuk sini.”
Sambil menangis aku berkata pada Papa, “Papa, kalau bukan dijemput Yesus jangan mau ya. Kalau Yesus yang jemput, Papa mau ikut silakan. Kalau Papa memang sudah cape mau beristirahat, Mama dan anak-anak sudah rela asal dijemput Yesus.
Papa menjawab, “Iya.”
Saat itu hatiku campur aduk rasanya. Di satu sisi aku melihat wajah Papa begitu tenang penuh kedamaian sekalipun tarikan napasnya makin lama makin keras. Napas Papa tidak ngos-ngosan, tapi inhale exhalenya kuat membuat kita yang melihatnya jadi tak tega. Di sisi lainnya aku sadar waktuku bersama Papa sudah tak banyak lagi.
Akupun tidak mengusir dua orang yang kata Papa sudah masuk ke kamar kami. Aku sama sekali tidak dicekam ketakutan seperti sebelumnya. Tak ada bulu kuduk merinding dan lain sebagainya seperti dulu. Yang ada hanyalah suasana damai sekalipun aku sedih siap ngga siap ditinggal Papa.
Aku berusaha menjaga kesadaran Papa tetap ada dengan terus mengajaknya ngobrol. Papa masih bisa bicara berkomunikasi denganku saat itu. Papa masih sempat bertanya jam berapa sekarang??? Jam 12 lebih Pa jawabku.
Aku minta Papa tidur supaya besok pagi bisa segar ketemu Mama yang tiap hari rajin datang menemui Papa di rumah sakit. Saat itu Papa bertanya jam berapa besok Mama datang??? Aku menjawab pagi-pagi Mama sudah datang. Papa buka mata Mama sudah ada di sini.
Lanjut Papa bertanya mengkhawatirkan keadaan Mama. Aku menjawab Mama aman di rumah bersama Shully (adikku), Lung (iparku) dan Oti (suamiku). Aku juga memberitahu pada Papa jika malam ini Mama tidur bersama Michael (anak sulungku cucu pertama Papa).
Dengan lega Papa menjawab, “O, ya wes.”
Lanjut Papa menyuruhku pulang. Lagi-lagi aku menangis. Aku menjawab, “Yemmy (nama kecilku) ngga akan pulang. Yemmy bobo di sini jaga Papa.”
Papa menjawab, “Terima kasih ya.”
Butuh kekuatan ekstra bagiku menuliskan kata demi kata di artikel kali ini. Bagaikan film yang diputar, kenangan malam itu terulang lagi dalam ingatanku.
Lanjut aku berkata pada Papa, “Ngga seharusnya Papa berterima kasih ke Yemmy. Yemmy yang seharusnya berterima kasih ke Papa. Terima kasih sudah membesarkan, mendidik sampai menikahkan Yemmy. Terima kasih banyak buat semua pengorbanan Papa selama ini. Yemmy sayang Papa.”
Aku mengucapkan itu lalu mencium kening Papa. Kening Papa terasa dingin. Sangat dingin. Air mataku makin tak bisa dibendung saat mendengar Papa menjawab, “Iya. Sama-sama.”
Setelah itu aku membaluri Papa dari ujung kaki sampai leher dengan minyak kayu putih agar Papa merasa hangat. Saat aku bertanya, “Enak ya bau minyak putih?”
Papa cuma mengangguk tak bersuara.
Sejak itu Papa sudah tak bersuara lagi saat aku ajak ngobrol. Papa cuma mengangguk atau menggeleng merespon obrolanku. Aku bertanya pada Papa apakah sesak napas??? Papa menggeleng. Aku juga bertanya apa Papa ada merasa sakit atau tidak nyaman??? Lagi-lagi Papa menggeleng.
Aku sangat terharu melihat ketabahan Papa menjalani saat-saat terakhir di hidupnya. Tak ada omelen. Tak ada keluh kesah. Tak ada persungutan apalagi penyangkalan. Sama sekali tak ada.
Papa fokus menjaga helaan napasnya agar terus bisa teratur satu persatu. Papa benar-benar luar biasa. Aku melihat Papa begitu sabar menerima, menghadapi dan menjalani takdir hidupnya.
Aku tahu waktunya sudah tak lama. Aku terus bisikkan di telinga Papa, “Panggil Yesus Pa. Sebut Yesus. Yesus. Yesus. Haleluya. Yesus. Yesus. Aku terus mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Hingga satu kali kesempatan, aku mendengar Papa berbicara dengan kuat dan jelas. “Yesus! Haleluya!”
Aku girang sekali saat itu melihat perkembangan Papa yang tadinya cuma menggeleng dan mengangguk jadi bisa bicara lagi. Aku lanjut berkata, “Papa aman bersama Yesus.”
Papa menjawab, “Iya. Aman.”
Rupanya itulah kata-kata terakhir yang bisa Papa ucapkan. Setelah itu angka oksigen di monitor Papa drop berbunyi menandakan ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi. Aku langsung terbang keluar menghubungi suster jaga.
Detail kehebohan dan kepanikannya tak mampu saya tuliskan di sini. Tapi saya yakin para pembaca bisa membayangkannya.
Kalimat “code blue” terdengar di sepanjang lorong rumah sakit kamar Papa, mengiringi derap langkah dokter dan para petugas IGD yang berlari ke kamar untuk menolong Papa dan berusaha mengembalikan tekanan darah Papa yang terus turun dari angka 90 per sekian, 80 per sekian, 60 per sekian sampai 40 per sekian.
Tiba-tiba aku teringat pada Mamaku dan adik perempuanku yang sedang menunggu cemas di rumah. Penjaga di rumah sakit memang cuma diijinkan 1 orang saja mengingat keadaan yang tak memungkinkan akibat virus corona yang masih menyerang Indonesia sampai sekarang.
Sambil menangis aku memohon pada dokter IGD agar mama dan adikku diijinkan ke rumah sakit menemani detik-detik terakhir Papa. Puji Tuhan dokter IGD mengijinkan. Aku langsung menghubungi adikku agar secepatnya datang ke rumah sakit bersama Mama. Papa kritis tapi mata Papa masih ada tanda kehidupan.
Sambil menunggu Mama dan adikku datang, aku berdoa pada Tuhan agar Papa jangan diambil dulu, supaya Mama dan adikku punya kesempatan mengucapkan kata-kata perpisahan.
Aku nyanyikan lagu "El Shaddai" di telinga Papaku. Cuma lagu itu yang ada di otakku saat itu.
“Tak usah ku takut, Allah menjagaku. Tak usah ku bimbang, Yesus pliharaku. Tak usah ku susah, Roh Kudus hiburku. Tak usah ku cemas, dia memberkati. El Shaddai. El Shaddai. Allah Maha Kuasa. Dia besar. Dia besar. El Shadaai mulia. El Shaddai. El Shaddai. Allah Maha Kuasa. BerkatNya melimpah. El Shaddai.”
Dua kali berturut-turut aku menyanyikan lagu itu persis di telinga kanan Papa. Lanjut aku berkata, “Yemmy masih ingat waktu Papa menyanyikan lagu ini saat memimpin puji-pujian di gereja. Papa ingat???
Kelopak mata Papa yang melek mengerjap menjawab pertanyanku. Aku tahu Papa masih sadar antara hidup dan mati. Papa mengerti dan merespon ucapanku. Papa benar-benar tangguh.
Sambil menangis dan berteriak aku menggocang bahu Papa memohon agar Papa bertahan dulu. Tunggu Mama Pa. Mama sudah di jalan. Tunggu Mama ya.
Tiba-tiba tekanan darah Papa dari 40 per sekian naik ke 53 per sekian. Saat itu Mama, adik dan iparku datang. Sambil dokter IGD terus melakukan CPR, Mama, adik dan iparku bergantian membisikkan ucapan terima kasih, permohonan maaf dan kata-kata perpisahan di telinga Papaku. Adikku juga menelpon bapak pendeta yang terus mendoakan Papa untuk melapangkan jalan Papa.
Iparku juga menelpon kakak dan adik laki-lakiku yang sedang dalam perjalanan dari Surabaya ke rumah sakit. Begitu juga suamiku yang menjaga anak-anak dan keponakan yang masih kecil di rumah. Lewat telpon yang didekatkan ke telinga Papa, kakaku, adik laki-lakiku dan suamiku mengucapkan terima kasih, mohon ampun dan kalimat perpisahan pada Papa.
Mata Papa masih ada kehidupan. Denyut nadi dan tekanan darah juga masih ada. Papa segera dilarikan ke IGD untuk penanganan lebih lanjut.
Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri betapa lapangnya jalan Papaku menjemput kematiannya. Di telinga yang satu Papa mendengar kata-kata cinta dari keluarga yang sangat menyayangi Papa. Di telinga satunya lagi Papa mendengar doa penyahutan yang dinaikkan bapak pendeta yang menggembalakan hidup rohani Papa selama ini.
Saat itu aku duduk bersimpuh di lantai IGD menggenggam tangan Papa. Di tarikan napas terakhirnya, tangan Papa bergerak pelan di tanganku. Sudah selesai. Aku tahu Papa sudah pergi meninggalkan dunia ini.
Wajah Papa tersenyum. Aku tahu Papa sudah bahagia beristirahat dengan tenang dalam pelukan Tuhan Yesus Kristus Juruselamat Kekasih Jiwa.
Akhirnya aku bisa mengambil kesimpulan. Firman Tuhan memang ya dan amin. Tuhan tak pernah menipu umatNYA. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat penyertaan Tuhan nyata atas hidup Papa. Papa begitu tenang tak ada ketakutan sama sekali saat berjalan di lembah bayang maut menjemput kematian tubuh jasmaninya.
Sebagai penutup aku jadi teringat pada sebuah Mazmur Daud yang mengatakan:
“TUHAN adalah gembalaku , takkan kekurangan aku . Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku. Engkau menyediakan hidangan bagiku, di hadapan lawanku; Engkau mengurapi kepalaku dengan minyak; pialaku penuh melimpah. Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.”
Ayat ini benar-benar nyata dialami Papaku di depan mataku. Aku beruntung bisa menyaksikan semuanya sejak awal sampai akhir. Suatu kehormatan yang tak ternilai bagiku bisa menggenggam tangan Papa sampai di penghujung hidupnya.
Selamat jalan Papa. Aku sayang Papa. Aku bangga jadi anaknya Papa. Selamat beristirahat dengan tenang. We love you. Terima kasih Yesus untuk semua kasih dan penyertaanmu. Amin. Terpujilah Tuhan.
Silakan klik link berikut untuk bisa mendapatkan artikel-artikel saya yang lainnya.
https://seword.com/author/jemi/
Thank you so much guys. Peace on earth as in Heaven. Amen.
Jemima Mulyandari
WRITTEN BY

Jemima Mulyandari 

If you work really hard and you are kind, amazing things will happen.
Sumber: https://seword.com/urusan-hati/ini-kisahku-mendampingi-dan-menyaksikan-betapa-sCMiaYlIsi

8 comments:

Related Posts

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...